Abu Al-Jauzaa’ :, 02 November 2010
Saya mengharapkan para Pembaca semua, sebelum membaca artikel ini, membaca artikel situs Hakekat : http://hakekat.com/content/view/83/1/. Karenanya, tulisan ini sama sekali bukan bertujuan untuk mendiskreditkan shahabat besar ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Hanya saja, tulisan ini sekedar men-ta’kid apa yang telah tertulis di situs Hakekat.
Al-Imam Abu Daawud rahimahullah berkata :
حدثنا مسدد ثنا يحيى عن سفيان ثنا عطاء بن السائب عن أبي عبد الرحمن السلمي عن علي بن أبي طالب عليه السلام : أن رجلا من الأنصار دعاه وعبد الرحمن بن عوف فسقاهما قبل أن تحرم الخمر فأمهم علي في المغرب فقرأ قل يا أيها الكافرون فخلط فيها فنزلت لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy, dari ‘Aliy bin Abi Thaalib : Bahwasannya ada seorang laki-laki dari kalangan Anshaar memanggilnya (‘Aliy) dan ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf, lalu memberi mereka minum khamr sebelum diharamkannya. Lalu ‘Aliy mengimami mereka shalat Maghrib dan membaca Qul yaa ayyuhal-kaafiruun, lalu ia pun salah dalam membacanya. Maka, turunlah ayat : ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan… (QS. An-Nisaa’ : 41)” [As-Sunan no. 3671].
Musaddad, ia adalah Ibnu Musarhad bin Musarbal bin Mustaurid Al-Asadiy, Abul-Hasan Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (w. 228 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 935 no. 6642].
Yahyaa, ia adalah Ibnu Sa’iid bin Faruukh Al-Qaththaan At-Tamiimiy; seorang yang tsiqah, mutqin, haafidh, imam, lagi qudwah (teladan) (120-198 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1055-1056 no. 7607].
Sufyaan, ia adalah Ibnu Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faqih (97-161 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 394 no. 2458].
‘Athaa’ bin As-Saaib bin Maalik Ats-Tsaqafiy Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, namun bercampur hapalannya (ikhtilath) di akhir hayatnya (w. 136 H), sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam At-Taqriib (hal. 678 no. 4625). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya. Namun yang benar ia seorang yang tsiqah. Para ulama melemahkannya dengan sebab ikhtilath-nya. Akan tetapi di sini, Sufyan Ats-Tsauriy mendengar riwayat dari ‘Athaa’ sebelum bercampur hapalannya. Oleh karenanya, riwayat ‘Athaa’ di sini adalah shahih [Tahdziibut-Tahdziib, 7/203-207 no. 386 dan Al-Mukhtalithiin oleh Al-‘Alaaiy hal. 82-84 no. 33].
Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy, namanya adalah ‘Abdullah bin Habiib bin Rubayyi’ah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 72/92/105 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 499 no. 3289].
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu, salah seorang shabahat besar.
Hadits ini shahih. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud 2/416.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3026, ‘Abd bin Humaid no. 82, Al-Bazzaar dalam Al-Bahruz-Zakhaar no. 598, Ibnu Jariir dalam At-Tafsiir 5/95, dan Al-Haakim 2/307.
Jika Syi’ah mengklaim ‘Aliy adalah ma’shum, bagaimana mereka memandang perbuatannya meminum khamr ? Mungkin mereka akan menanggapi bahwa ‘Aliy minum khamr sebelum turun larangan dari Allah ta’ala.
Jika mereka merespon hal tersebut, sebenarnya itu bertentangan dengan ‘aqidah mereka sendiri. Walau bagaimanapun, khamr merupakan dzat/minuman yang tercela. Jika memang ‘Aliy itu ma’shum sejak ia dilahirkan, tentu ia akan tidak akan meminum khamr sebagaimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak minum khamr. Selain itu, bagaimana bisa ‘Aliy bin Abi Thaalib mengimami shalat dalam keadaan mabuk sehingga ia keliru membaca surat pendek Al-Kaafiruun ? Jelas ini bertentangan dengan doktrin kema’shuman yang direkayasa pembesar Syi’ah.
Adapun Ahlus-Sunnah memandang, ‘Aliy bin Abi Thaalib adalah manusia biasa sebagaimana para shahabat besar yang lainnya. Di samping berbagai keutamaan yang dimilikinya, ia pun juga bisa melakukan kekeliruan sebagaimana shahabat lain melakukan kekeliruan. Dan mereka dimaafkan atas kekeliruannya itu, karena mereka (para shahabat) adalah kaum yang bersegera dalam taubat setelah melakukan kekeliruan.
Wallaahu ta’ala a’lam.
‘Aliy bin Abi Thaalib memang
manusia maksum(eh sorry) manusia biasa yg segera bertobat.Jika misalkan riwayat di atas bukan tentang Imam Ali ra, misalkan tentang Abu Bakar atau Umar ra, pasti sudah habis dua orang sahabat Nabi tsb jadi bahan celaan orang-orang syi’ah dan dari generasi ke generasi mereka akan terus ungkit-ungkit hal itu, karena memang salah satu akidah mereka adalah mencela sahabat Nabi SAW, mereka belum merasa sempurna imannya kalau belum mendiskreditkan sahabat Nabi SAW 🙂
Ya beginilah…… opini bisa terbentuk baik positif maupun negatif, kalau dalam memahami setiap permasalahan agama lebih mendahulukan hadist dari pada Al Qur’an.
Padahal kita tahu Al Qur’an paling terjamin 100% kesahihannya. Semua persoalan pasti ada dalam Al Qur’an. Seharusnyalah pandangan Al Qur’an didahulukan.
Jangankan para sahabat…, Nabi SAW pun dengan berlandaskan hadist, bisa disimpulkan sebagai manusia biasa yang bersegera bertobat ……, jadi sama dong kwalitas spiritual Nabi SAW dengan sahabat2nya, weleh2…., menurut saya ini suatu ketergesaan.
Ini kesalahan fatal metodologi dalam memahami masalah keagamaan.
Jadi apabila suatu permasalahan telah jelas berdasarkan Al Qur’an, maka hadist2 yang maknanya bertentangan dengan Al Qur’an otomatis tertolak.
Hadist itu bertentangan dengan ayat:
“wa andzir ‘asyiiratakal aqrabiin” (QS As Syuara 26:214)
bacalah asbabun nuzul dan catatan peristiwa yang terkait dengannya.
Sejarah mencatat ‘Ali AS, adalah laki-laki yang pertama kali beriman dan shalat bersama Nabi SAW.
Beliau adalah orang selalu dalam bimbingan Nabi SAW.
Beliau adalah “Waliy” sebagaimana dalam Al Qur’aan sebutkan setelah Allah dan Rasul SAW. (QS Al Maidah 5:55)
Adakah sahabat lain yang dikategorikan Waliy???
Sekali lagi saya bukan mau mengangkat atau merendahkan sahabat siapapun.
Cobalah mari kita utamakan Al Qur’an terlebih dahulu untuk melihat suatu permasalahan.
Mungkin benar anda menggunakan Al-Qur’an, tetapi anda menggunakan pemahaman anda sendiri. Buktinya, anda memelintir ayat-ayat Al-Qur’an tentang Imamiah.
Bagaimana anda memahami ayat Al-Qur’an ini:
“Dan orang-orang Yang terdahulu – Yang mula-mula (berhijrah dan memberi bantuan) dari orang-orang “Muhajirin” dan “Ansar”, dan orang-orang Yang menurut (jejak langkah) mereka dengan kebaikan (iman dan taat), Allah redha akan mereka dan mereka pula redha akan Dia, serta Dia menyediakan untuk mereka Syurga-syurga yang mengalir di bawahnya beberapa sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; itulah kemenangan yang besar. (at-Taubah: 100)
Bukankah ayat ini menolak paham “pelaknatan syiah” terhadap para sahabat?
Maaf, komentar saya ini buat saiful anwar…
@Saiful
Saya akan buktikan bahwa perkataan anda di atas adalah kontradiktif, bahkan saya akan tunjukkan bukti tsb masih dalam satu komentar anda di atas:
Darimana anda tahu bahwa Al-Maidah : 55 adalah ayat untuk Ali? Bukankah ayat tsb tidak menyebut nama Ali?
Tolong dijawab, jika anda menjawab bahwa anda tahu bahwa ayat 5:55 untuk Ali adalah dari Hadits, maka sadarilah bahwa anda itu menulis komentar tetapi tidak paham apa yg anda tulis. sehingga terlihat kontradiksi yg nyata tetapi anda tdk menyadarinya.
Lagian hadits bahwa ayat 5:55 adalah untuk Ali ra adalah Dha’if, apakah anda tahu?
akhi @taufiq…
– tolong kasih tau dimana saya memelintir ayat-ayat Al-Qur’an tentang Imamiah ….
– QS 26:214 lebih dulu turunnya dari pada QS 9:100
Kita lagi bahas tentang ‘Ali bin Abi Thalib, anda tanya saja siapa laki2 pertama beriman dan shalat bersama Nabi SAW,
itu saja……
Fakta sejarah bahwa ‘Ali bin abi Thalib adalah saudara terdekat Nabi SAW. Ingat ketika hijrah, muhajirin dan anshar masing-masing dipersaudarakan, tapi ‘Ali bin Abi Thalib tidak demikian, melainkan beliau dipersaudarakan dengan diri Nabi SAW sendiri.
Apakah kita anggap Nabi SAW pilih kasih??? tentunya tidak beliau berkata dan bertindak berdasarkan wahyu.
Sudah dijawab Mas Sandi. Anda keluarkan arti ayat-ayat Al-Qur’an menuju ke pemahaman anda di postingan yang lain.
Tolong jawab, pertanyaan saya tentang ayat 100 surat At-Taubah di atas. Saya hanya ingin tahu, apakah anda mendahulukan ayat atau hadits, seperti komentar anda sebelumnya:
@sandi
cobalah bersikap adil, anda begitu gencarnya menggunakan hadist atau riwayat untuk mendukung suatu pendapat.
kenapa dari pihak yang berbeda paham tidak diperbolehkan?
sekarang tolong dijawab, dari mana kita tahu jumlah rakaat shalat 5 waktu kita?
daif mendaifkan hadist itu pasti terjadi, karena ada unsur kepentingan untuk menguatkan pendapat.
tapi kebanyakan ‘ulama mencatat asbab nuzul dari ayat tersebut adalah demikian.
kalau memang ada asbab an nuzul selainnya, andalah seharusnya bertanggung jawab untuk mencatat disini. (ingat tolong tuliskan asbab an nuzul dari ayat QS 5:55 yang anda miliki)
Anda saja sudah su’udzon terhadap ulama. Bagaimana anda bisa bersikap adil. Baca lagi komentar anda:
@saiful
Semakin membaca komentar-komentar anda semakin terlihat anda tidak konsisten dan penuh dengan kontradiksi, apakah anda tidak sadar akan hal itu? baca lah komentar anda sebelumnya terus baca komentar anda selanjutnya! bahkan dalam satu komentar saja anda sudah tidak konsisten! saya lihat logika yg anda bangun kacau balau dikarenakan mengikuti hawa nafsu anda yaitu hawa nafsu untuk membela paham Syi’ah Rafidhah.
Jika anda hendak meneruskan diskusi silahkan introspeksi dulu.
@taufiq
Taatilah Allah dan Rasul SAW, berarti Allah SWT lebih dulu yakni Al Qur’an baru Hadist Sahih.
Untuk ayat QS 9:100;
‘Ali bin Abi Thalib kan termasuk muhajirin. Ketika di madinah/hijrah, fakta sejarah bahwa muhajirin dan anshar masing-masing dipersaudarakan, tapi ‘Ali bin Abi Thalib tidak demikian, melainkan beliau dipersaudarakan dengan diri Nabi SAW sendiri.
Ayat itu turun ketika terjadi perjanjian baituridwan, (kalo gak salah).
Dalam ayat itu Allah berjanji akan meredhai sahabat2 muhajirin dan anshar, tapi tidak seluruhnya.
Kalau anda perhatikan dengan teliti ayat tsb. terdapat syarat yaitu: …..”wallazdii nattaba’uu hum bi ihsan”…
yakni orang2 yang mengikuti …”as sabiqunal awwaluun”… dengan sebaik-baiknya.
Jadi siapakah “as sabiqunal awwaluun” = yang benar dan pertama kali beriman?
Dua bantahan saya:
a. Anda sekali lagi memelintir ayat Al-Qur’an.
Potongan ayat ini:
… ”wallazdii nattaba’uu hum bi ihsan”
itu tidak merujuk kepada muhajirin dan anshar karena menggunakan kata “wa”. “walladzii” berarti “dan orang-orang”.
syarat yang anda maksudkan merujuk kepada orang-orang yang mengikuti muhajirin dan anshar, bukan syarat buat muhajirin dan anshor. anda tidak bisa bahasa Arab, atau sengaja membelokkan arti?
b. Anda juga memelintir dengan pertanyaan ‘siapa “as sabiqunal awwalun”?’. Padahal di ayat itu sudah dijelaskan “as sabiqunal awalun minal muhajirin wal anshor”. Tetapi anda mau membingungkan orang dengan pertanyaan anda.
@taufiq
siapa yg suuzhon? kok menghindar dari kenyataan, tidakkah anda baca di kitab hadist beberapa riwayat saling bertentangan?
antum gimana?????????????????, yang mendaifkan hadist itu kan dalam hal ini akh @sandi.
tahukah anda sebab tertundanya pencatatan hadist hingga 1 1/2 abad dari wafat Rasul SAW?
Kalimat anda ini loh, Mas:
Berarti anda menuduh para ulama daif mendaifkan hadits berdasarkan kepentingan mereka.
Anda mau su’udzon lagi, dengan mengatakan ini:
waah ….. kalo begini anda menghindar dari inti persoalan, ok lah tuduhan anda saya terima, tapi tolong pertanyaan/pernyataan saya di tanggapi……, krn blm satupun ditanggapi. Tolong ya kalo memang mau melanjutkan dialog…
anda baca dulu sejarah penyusunan hadist kutubus sittah. Dan tolong tulis disini kapan dan atas perintah siapa dimulainya?
Jadi siapakah as sabiquunal awwaluun itu? Menurut akhi saiful anwar, mereka adalah yang benar dan pertama kali beriman.
Kita lihat penjelasan salah seorang hafidz ahli tafsir sunni yg kitabnya jadi rujukan kaum sunni di seluruh dunia, yaitu al-hafidz Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqi asy-Syafi’i atau dikenal dengan Ibnu Katsir rahimahullah.
Didalam kitab tafsirnya pada pembahasan mengenai surat 9 : 100, Ibnu Katsir membawakan beberapa atsar berkenaan dengan as sabiquunal awwaluun.
– Asy-Sya’bi mengatakan : Yang disebut dengan as-sabiquunal awwaluun (orang-orang yg terdahulu lg yg pertama) adalah kaum Muhajirin dan kaum Anshar yg mendapatkan peristiwa perjanjian Bai’at Ridwan pada tahun Hudaibiyyah.
– Abu Musa al-Asy’ari, Sa’id bin al-Musayyib, Muhammad bin Sirin, al-Hasan dan Qatadah mengatakan : Mereka adalah orang-orang yang pernah mengerjakan sholat dengan menghadap ke dua kiblat bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
– Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi menceritakan : Umar bin al-Khaththab pernah melewati seseorang yang tengah membaca ayat ini, “was sabiquunal awwaluuna minal muhaajiriina wal anshoor…”, kemudian Umar menarik tangan org itu seraya berucap, “Siapa yg membacakan ayat ini kepadamu?”, orang itu menjawab, “Ubay bin Ka’ab”, “jangan pergi dariku sebelum aku membawamu kepadanya” papar Umar. Setelah mendatangi Ubay bin Ka’ab, Umar bertanya, “apa benar kamu yg membacakan ayat ini kepada org ini?”, Ubay berkata, “benar”. “Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah?” tanya Umar kemudian. “Ya,” jawab Ubay. Umar berkata, “aku melihat bahwa kami telah ditinggikan pada ketinggian yg tak dapat dicapai seorgpun sepeninggal kami.” Ubay bin Ka’ab mengatakan, “ayat-ayat yg memberikan peneguhan terhadap ayat tersebut terletak pada awal surat al-Jumu’ah : “dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” dan juga ayat yg terdapat pada surat al-Hasyr : “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor)”.
Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir (Ath-Thobari).
Lebih lanjut, Ibnu Katsir mengatakan :
“Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa Dia telah meridhoi orang-orang terdahulu dari kaum Muhajirin dan Anshor serta org2 yg mengikuti mereka dengan baik. Maka, alangkah celakanya org2 yg membenci dan mencela mereka atau sebagian saja dari mereka. Apalagi terhadap pemuka sahabat setelah Rasulullah, yaitu sahabat pilihan dan seorg Khalifah Agung, ash-Shiddiq Abu Bakar bin Abi Quhafah -radhiyallahu ‘anhu-. Ada sebuah kelompok Rafidhah yg memusuhi, membenci, mencaci dan mencela para sahabat yg mulia. Na’udzubillaahi min dzaliik. Yang demikian itu menunjukkan bahwa akal mereka telah terbalik dan hati mereka telah linglung. Lalu dimanakah posisi keimanan org2 tersebut terhadap Al Qur’an dimana mereka telah mencela org2 yg telah diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala? Sedangkan ahlussunnah senantiasa meridhai org2 yg telah diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Semoga perkataan Ibnu Katsir ini bisa dijadikan bahan renungan oleh rekan2 syi’ah wa bil khusus akhi saiful anwar yg sudah lebih dulu mengatakan, “Taatilah Allah dan Rasul SAW, berarti Allah SWT lebih dulu yakni Al Qur’an baru Hadist Sahih.” Nah, saya katakan, Allah Ta’ala sendiri meridhoi para sahabat Muhajirin dan Anshor yg mengikuti bai’at Ridwan, mengapa skrg syi’ah menghujat mereka? Apakah syi’ah mau mendahului firman Allah Ta’ala??? Katanya mau ta’at???
Monggo klo mau dunlut e-book tafsir surat At Taubah :
https://docs.google.com/fileview?id=0Bz1Iv5iVVJceYTYzY2IzZDYtN2U0Yy00NDRlLTlkNGEtNDJkNzgzNGU3Njk5&hl=en
syukron @hamba yang dhoif dan taufiq
—————————————————————
– Asy-Sya’bi mengatakan : Yang disebut dengan as-sabiquunal awwaluun (orang-orang yg terdahulu lg yg pertama) adalah kaum Muhajirin dan kaum Anshar yg mendapatkan peristiwa perjanjian Bai’at Ridwan pada tahun Hudaibiyyah.
—————————————————————
as-sabiquunal awwaluun = orang-orang yg terdahulu lg yg pertama = muhajiriin & anshor
Betul diayat tsb Allah meradhai as-sabiquunal awwaluun=muhajiriin & anshor, namun saya melihat diayat tsb terdapat 2 pembatasan dan syarat yaitu:
مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ
1) Ayat itu tidak menyatakan jumlah keseluruhan para muhajirin & anshor, sebab disitu ada : “minal muhajiriina wal anshar………
2) dan orang-orang Yang menurut (jejak langkah) mereka dengan kebaikan (iman dan taat),—- saya sepakat dengan anda.
pertanyaan saya, ya akhi :
..minal muhajiriina wal anshor itu kan sekumpulan orang-orang beriman.
Yang disebut dengan as-sabiquunal awwaluun (orang-orang yg terdahulu lg yg pertama)
Tentunya ada dong……, yang pertama-tama kali (awwalan) beriman kepada Allah dan Rasul-Nya???
Karena definisi Asy sya’bi diatas belum menjelaskan urutan no. 1 – nya siapa?
Urutan no. 1?
Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri.
Saya mengomentari bagian yang belum anda sepakati:
Anda sekali lagi bermain-main dengan bahasa. Kata min itu tidak berarti menyatakan sebagian, tetapi juga berarti memerinci. Coba anda lihat ayat berikut (Al-Bayyinah:6):
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَـبِ وَالْمُشْرِكِينَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَـلِدِينَ فِيهَآ أَوْلَـئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
Apakah anda ingin mengatakan bahwa hanya orang-orang kafir dari sebagian ahli kitab dan sebagian orang musyrik yang masuk neraka dan disebut sebagai seburuk-buruk makhluk?
Kalau pemahaman anda dengan kata min seperti itu, maka jawaban anda seharusnya adalah “ya”. Dan artinya ada orang-orang musyrik yang masuk surga.
Setuju Akhi Taufik…
@hamba yg dhoif
ar rijaalu qowwaamuna ‘alan nisaa….
lanjutin donk siapa ….? kok gak sekalian ….
Ana ga memungkiri bahwa urutan nomer duanya adalah Ali bin Abi Thalib, namun antum tadi kan berkata begini :
“Karena definisi Asy sya’bi diatas belum menjelaskan urutan no. 1 – nya siapa?”
Ya ana batasi dengan urutan nomer 1 aja dong…yaitu Khadijah istri Nabi
@hamba yg dhoif
Saya merenungkan perkataan Ibnu Kastir.
———————————————————————
……..Ada sebuah kelompok Rafidhah yg memusuhi, membenci, mencaci dan mencela para sahabat yg mulia. Na’udzubillaahi min dzaliik…………
———————————————————————
benar apa gak ya akhi…, ada ‘ulama memfatwakan orang yang melakukan hal tsb diatas dihukumi zindik dan mungkin kafir.
bagaimana ya akhi, ini bukan hanya sekedar memusuhi, membenci, mencaci dan mencela para sahabat yg mulia saja, tapi ini bahkan sudah saling membunuh………
ada sahabat Nabi SAW pernah terbunuh, juga oleh sahabat, perang antara kumpulan sahabat2 Nabi SAW yang mendukung Mu’awiyah dan sahabat2 Nabi SAW yang mendukung ‘Ali bin Abi Thalib.
bagaimana hukumnya?
Akhi saiful,
Sebelumnya ana ingin bertanya dulu, bagaimana sih sbnrnya pandangan syi’ah thd para sahabat. Maaf kita kembalikan inti permasalahannya dulu pd surat at taubah ayat 100. Semula antum kan berkata ta’atilah Allah Ta’ala lalu RasulNya Shallallahu alaihi wasallam, ini berkonsekuensi kita musti menta’ati Al Qur’an terlebih dahulu lalu baru melihat pd hadits2 Nabi.
Ana tanyakan pd antum, bagaimana sih sbnrnya dan kenapa sih kok kalian tega mencaci maki Abu Bakar, Umar, Utsman dan mencela para sahabat yg lain? Ana lihat dari komen2 antum sblmnya, antum pun sbnrnya mengakui as sabiqunal awwaluun itu, hanya sayang sptnya antum hanya mengakui Ali saja sebagai sabiqunal awwalun padahal sblm Ali masih ada Khadijah, istri Nabi sendiri. Dan jg sabiqunal awalun itu bukan Ali saja akh, ada sahabat2 lain dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Inilah ijma’ dari ahlussunnah.
Kita diskusiin ini aja dulu deh sblm pada masalah perselisihan para sahabat, karena terlalu melebar dan akan jd panjang bgt.
Dan ana mohon, kita diskusi secara biasa saja, antum ga ush mengeluarkan dalil2 dari Qur’an maupun hadits, cukup dari nalar antum saja dulu.
@Saiful
Anda mau mengatakan bahwa Imam Ali termasuk Assabiqunal Awwalin, kita jawab memang iya, tetapi selain beliau ada Khadijah, Abu Bakar, Utsman, Umar dan sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Jadi mereka semua adalah panutan kita. dan juga ayat tsb tidak mengatakan bahwa hanya Ali bin thalib saja, karena Assabiqunal Awwalun itu jamak bukan satu org saja.
Yang jelas sungguh tidak tahu diri org sekarang mencela para sahabat Nabi SAW dan bahkan bisa dihukumi zindiq, karena mereka adalah orang2 yg menemani Rasulullah berjuang menegakkan Islam sedangkan si pencela adalah dr kalangan akhir jaman yg sama sekali tdk terlibat pada saat itu.
Kalau anda mau menghakimi generasi awal Islam, maka adlah hal yang useless dan tidak tahu diri, karena telah berlalu kejadian tsb, bagi mereka amal mereka, yang jelas keutamaan mereka lebih besar daripada apa yg mereka telah lakukan (telah banyak tercantum ayat tentang mereka, lha kalau anda? adakah ayat mengenai anda???), dan hal tsb menunjukkan bahwa mereka manusia biasa bisa berbuat keliru. bukan hanya Mu’awiyah, Imam Ali pun juga membunuh dalam pertempuran, apakah anda akan menyalahkan beliau juga? Imam Ali pernah dinasehati oleh anaknya Al-Hasan agar jangan pergi ke Basrah, tetapi beliau tetap berkeras ke sana, akhirnya terjadilah insiden Shiffin hingga beliau menyesal akan hal itu. jadi memang ahlul bait itu tidak ma’shum kok
@hamba yg dhoif
———————————————————————–
Ana tanyakan pd antum, bagaimana sih sbnrnya dan kenapa sih kok kalian tega mencaci maki Abu Bakar, Umar, Utsman dan mencela para sahabat yg lain? Ana lihat dari komen2 antum sblmnya, antum pun sbnrnya mengakui as sabiqunal awwaluun itu, hanya sayang sptnya antum hanya mengakui Ali saja sebagai sabiqunal awwalun padahal sblm Ali masih ada Khadijah, istri Nabi sendiri. Dan jg sabiqunal awalun itu bukan Ali saja akh, ada sahabat2 lain dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Inilah ijma’ dari ahlussunnah.
———————————————————————-
Diantara syiah ada yg mengecam dan ada pula yg tidak.
Kemungkinan pertama:
Orang2 syiah yg mengecam itu mempunyai alasan yg rasional, dan kecaman tsb tidak menyebabkan suatu apapun, tidak kafir, fasik, dll. Karena Nabi bersabda; Allah mengutuk siapa saja yang tidak turut serta dalam pasukan Usamah”. Ketika Allah & Rasul Nya mengutuk, maka mereka boleh mengutuk.
Kemungkinan kedua:
mengingat bagi syiah bahwa Imamah itu prinsip agama (sesungguhnya bagi sunni sebenarnya demikian juga, krn ada hadist Nabi SAW: “Barangsiapa yang mati tanpa mengenal Imam Zamannya-Imam yang haq, maka dia mati dalam kejahiliyahan – ini kan pertanda dalam kesesatan antara Iman atau kufur jadi masalah yg prinsip juga)
Sesungguhnya perpecahan itu bermula dari masalah kepemimpinan/Imamah ini.
Saya sepakat As sabiqunal awwaluun itu “diantara=sebagian dari muhajiriin dan Anshar”
tapi, bukan total seluruh sahabat muhajirin dan anshor, karena saya tanya yg ahli bahasa “min” itu diantara=tidak semuanya. Dan nalar saya pun menyatakan tidak mungkin, karena setelah wafat rasul para muhajirin & anshor itu ada yang saling bersebrangan bahkan saling bunuh.
Saya sepakat as-sabiqunal awwaluun bukan ‘Ali bin Abi Thalib saja.
Namun sunnatullah tentang prinsip keutamaan makhluk terbaik diantara makhluk lainnya itu dijelaskan dalam Al Qur’an.
Ada satu pertanyaan yang muncul tiba-tiba:
Menurut anda, siapa asabiqunal awwaluun dari kaum Anshor? Dan bagaimana pandangan syi’ah terhadap mereka?
akhi saiful,
Afwan, riwayat “Allah mengutuk siapa saja yang tidak turut serta dalam pasukan Usamah”, itu riwayat dalam kitab apa ya? setelah saya searching, saya kok ga menemukan riwayat ini dalam kitab2 hadits sunni tetapi malah menemukannya didalam kitab syarah Nahjul Balaghah karya Ibnu Abil Hadid (Ibn Abil Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, IX, h. 190-200).
Dan antum berkata, “Orang2 syiah yg mengecam itu mempunyai alasan yg rasional, dan kecaman tsb tidak menyebabkan suatu apapun, tidak kafir, fasik, dll”
Wallahul Musta’an. Allah Ta’ala saja meridhoi para sahabat, lalu ketika ada org2 syi’ah yg menjelek2an mereka, mau jadi apa org2 syi’ah itu di hadapan Allah Ta’ala akh? mau melangkahi firman Allah? Atau mau melangkahi sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam yg mewajibkan kita untuk tidak mencaci maki para sahabat?
‘Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi dan Abu Bakr bin Abu Syaibah serta Muhammad bin Al A’laa. Yahya berkata; Telah mengabarkan kepada kami. Sedangkan yang lainnya berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: ‘Janganlah kalian mencaci maki para sahabatku! Janganlah kalian mencaci maki para sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku ditangan-Nya, seandainya seseorang menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka ia tidak akan dapat menandingi satu mud atau setengahnya dari apa yang telah diinfakkan para sahabatku.’ HR Muslim bab haramnya menghina para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Manshur dari Ibrahim dari ‘Ubaidah dari ‘Abdullah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang setelah mereka kemudian orang-orang setelah mereka…” HR Bukhari no. 2458
Kembali lg ana katakan pada antum akh, katanya mau ta’at pada Allah? Katanya mau ta’at pada Rasul?
Dan sesungguhnya para ulama sunni manapun telah sepakat, mencaci maki dan menghina para sahabat bahkan hingga memvonis mereka telah murtad adalah sesuatu bentuk kefasikan, kemunafikan bahkan bisa menjurus pada kekafiran. Antum bisa buka aqidah ath-thahawiyah karya Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi atau ushul as-sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal.
@sandi menulis
Lagian hadits bahwa ayat 5:55 adalah untuk Ali ra adalah Dha’if, apakah anda tahu?
————————————————————————–
Tolong lah….. asbab an nuzul QS 5:55 yang sahih menurut versi yang anda pahami, dapat tuliskan disini……..
SURAT
AL-MAIDAH: 55-56
“Sungguh tiada lain pemimpin kamu adalah Allah, Rasul-Nya, dan orang yang beriman, yaitu orang yang memberikan zakat ketika ruku ‘. Barangsiapa yang berwilayah kepada Allah dan Rasul-Nya serta orang yang beriman, maka sesungguhnya hiz- bullah adalah mereka adalah orang-orang yang menang. ”
Ayat ini turun terkait dengan Ali bin Abi Tha1ib (a.s) ketika beliau memberi sedekah kepada pengemis saat beliau sedang ruku ‘ .
Silahkan rujuk:
1. Syawahidut Tanzil, AI-Hakim AI-Haskani AI-Hanafi, jilid 1, ha1aman 161-184, hadis ke: 216,217,218,219, 221, 23,224,225,226,227,228,229,230,231,232,233,234, 235,236,237,238,239,240, dan 241, cet. Bairut.
2. Asbabun-Nuzul, AI-Wahidi An-Naisaburi, ha1aman 113, cet. AI-Ha1abi, Mesir; ha1aman 148, cet. AI-Hindiyah.
3. Manaqib Ali bin Abi Tha1ib, Ibnu AI-Maghazili Asy-syafi’i, ha1aman 311,hadis ke: 354,355,356,357, dan 358.
4. Kifayah Ath-Thalib, AI-Kanji Asy-Syafi’i, ha1aman 228, 250, 251, cet. AI-Haidariyah; ha1aman 106, 122, 123, cet. AI-Ghira.
5. Dzakhairul ‘Uqba, Muhibuddin Ath-Thabari Asy-Syafi’i, ha1aman 88, 102.
6. AI-Manaqib, AI-Khawarizmi AI-Hanafi, ha1aman 187.
7. Tarjamah Al- Imam Ali bin Abi Tha1ib, dalam Tarikh Damsyiq, oleh Ibnu Asakir Asy-Syafi’i, jilid 2, ha1aman 409, hadis ke: 908 dan 909.
8. AI-Fushul AI-Muhimmah, oleh Ibnu Shabagh AI-Maliki, ha1aman 123 dan 108.
9. Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi, jilid 2, ha1aman 293.
10. Fathul Qadir, oleh Asy-Syaukani, jilid 2, halaman 53.
11. At-Tashil Li’ulumit Tanzil, oleh AI-Kalbi, jilid 1, halaman 181.
12. Al-Kasysyaf, oleh Zamakhsayai, jilid 1, halaman 649. .
13. Tafsir Ath- Thabari, jilid 6, halaman 288-289.
14. Tafsir Al-Munir Lima’alimit Tanzil, AI-Jawi, jilid 1, halaman 210.
15. Zad Al-Masir fi ‘llmit Tafsir, Ibn Jauzi AI-Hanbali, jilid 2 halaman 383.
16. Fathul Bayan fi Maqashidil Qur’ an, jilid 3, halaman 51.
17. Tafsir Jalalayn, halaman 213.
18. Yanabi’ul Mawaddah, oleh AI-Qundusi, halaman 115, cet Istambul; halaman 135, cet. AI-Haidariyah.
19. Tafsir Fakhur Razi, jilid 12, halaman 26 dan 20, cet. Al-Bahiyah, Mesir; jilid 3, halaman 431, cet. Ad-Dar Al-‘ Amirah, Mesir
20. Tafsir Ibnu Katsir,jilid 2, halaman 71, cet. Dar Ihya’ AI-Kutub.
21. Ahkamul Qur’an, oleh AI-Jashshash, jilid 4, halaman 102, cet. Abdurrahman Muhammad.
22. Majma’ Az-Zawaid, jilid 7, halaman 17.
23. Syarah Nahjul Balaghah, oleh Ibnu Abil Hadid, jilid 13, halaman 277, cet. Mesir, dengan Tahqiq Muhammad Abul Fadhl; jilid 3, halaman 275, cet. pertama, Mesir.
24. Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, halaman
24, cet. Maimaniyah; halaman 39, cet AI-Muhammadiyah
25. Ansabul Asyraf, oleh AI-Baladzuri, jilid 2, halaman 150, hadis ke 151, cet. Bairut.
26. Tafsir An-Nasafi, jilid 1, halaman 289.
27. AI-Hawi Lil Fatawa, oleh As-Suyuthi, jilid I, halaman 138 dan 140.
28. Kanzul ‘Ummal, jilid 45, halaman 146, hadis ke 416; halaman 95, hadis 269, cet. kedua.
29. Muntakhab Kanzul Ummal (Catatan pinggir) Musnad Ahmad, jilid 5, halaman 38.
30. Jami’ul Ushul, jilid 9, halaman 478.
31. Ar-Riyadh An-Nadharah,jilid 2, halaman 273 dan 302.
32. Ihqaqul Haqq, jilid 2, halaman 399.
33. AI-Ghadir, oleh Al-Amini, jilid 2, halaman 52; jilid 3, halaman 156.
34. Mathalib As-Saul, oleh Ibnu Thalhah Asy-Syafi’i, halaman 31, cet. Teheran; jilid 1, halaman 87, cet. Najef.
35. Ma’alimut Tanzil (Catatan pinggir) Tafsir AI-Khazin, jilid 2, halaman 55.
36. Faraid As-Samthin, jilid 1, halaman 11 dan 190, hadis ke: 150, 151,dan 153.
Baiklah saya tanggapi yang ini.
Anda sendiri sudah mengatakan bahwa orang yang menggunakan hadits bisa dhoif/mendhoifkan hadits untuk kepentingan yang mendukung pendapatnya. Jadi anda berdalil dengan apa yang anda tulis tidak bisa terima. Bukankah asbabun nuzul juga hadits?
Akan lebih baik kalau diskusi didasarkan pada Al-Qur’an yang kita yakini kebenarannya.
Saya kutipkan ayat yang anda maksud:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُواْ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلوةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَوةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
Siapa yang memberi zakat sambil ruku’? Kenapa hanya Ali’ radhiyallahu ‘anhu? Padahal di situ tertulis:
وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Dan mereka …”. yang artinya jamak. Potongan ayat sebelumnya juga menunjukkan bahwa yang menjadi pelindung selain Allah dan Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa salaam adalah jamak.
Sekali lagi anda benar..
@Sandi.
Jazaakumullah khorion, Akhi Sandi. Tolong koreksi juga jika ada yang salah.
akhi @taufiq menulis
—————————————————————-
Siapa yang memberi zakat sambil ruku’? Kenapa hanya Ali’ radhiyallahu ‘anhu? Padahal di situ tertulis:
وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Dan mereka …”. yang artinya jamak.
—————————————————————-
Setiap statement Allah SWT hukumnya berlaku hingga hari Qiamat, bila tiada ayat yang memansukhkannya.
Waliy-Nya pun terus berkesinambungan hingga Qiamat/akhir zaman, hal ini sesuai dengan hadist Nabi SAW bahwa Waliyyul Amr akhir zaman akan diemban oleh Imam Mahdi. Jadi memang Waliy-Nya lebih dari satu, ya kan….
Disamping itu merupakan kelaziman dalam Al qur’an, kadang yang dimaksud adalah 1 orang, namun bahasanya Al Qur’an menggunakan kata jamak, seperti;
1) Pada kasus Hatib bin Abi Balta’ah, yang menyurati orang2 musyrik Quraisy (QS Al Mumtahanah 1)
2) pada kasus Abdullah bin Ubay (QS Al Munafiqun 8)
Jadi nalar saya menyimpulkan.
Kalau dimaknai jamak tentu benar adanya (karena memang Waliyy lebih dari satu)
Juga bila kita maknai tertuju kepada satu orang yakni ‘Ali bin Abi Thalib, itupun benar, mengingat;
– gaya bahasa Al Qur’an pada kasus2 yang lain juga berpola sama.
– Al Qur’an hanya turun sekali saja pada periode Muhammad SAW. Sehingga perlunya penetapan Waliyy yang pertama pada saat ayat itu turun. Mengenai waliyy-berikutnya tentunya ditunjuk oleh Waliyy Pertama.
Ternyata sebagian besar ‘ulama mencatat asbab an nuzul QS 5:55-56, berkenaan dengan ‘Ali bin Abi Thalib.
Pada ayat ini juga mengandung taukid yang khusus dan pembatasan yakni diawal ayat “Innamaa…….. = Sesungguhnya tiada lain Waliyy kamu adalah …………..
Waduh parah benar anda ya dalam menafsirkan Al-Qur’an, pokoknya gathuk mathuk kalau orang Jawa bilang. Kalau begini caranya setiap orang bisa menafsirkan Al-Qur’an seenak udelnya sendiri.
Bertaubatlah anda Saiful, janganlah anda perturutkan hawa nafsu anda.
Baiklah kalau anda menyimpulkan demikian. Tetapi tolong anda konsisten dengan kaidah bahasa kalau hadits anda persoalkan. Meskipun kenyataannya anda menggunakan hadits.
Jika dalam bahasa disebutkan jamak padahal kasusnya tunggal, itu berarti kaidah itu berlaku untuk jamak. Saya kutip ayat 1 surat Mumtahanah:
يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ عَدُوِّى وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَآءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُواْ بِمَا جَآءَكُمْ مِّنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّـكُمْ أَن تُؤْمِنُواْ بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِن كُنتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَاداً فِى سَبِيلِى وَابْتِغَآءَ مَرْضَاتِى تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَاْ أَعْلَمُ بِمَآ أَخْفَيْتُمْ وَمَآ أَعْلَنتُمْ وَمَن يَفْعَلْهُ مِنكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَآءَ السَّبِيلِ
Meskipun ini terjadi pada kasus Hatib, tetapi disebutkan dalam hal jamak. Artinya siapapun yang melakukan itu akan dikenai hukum seperti kasus Hatib. Bukankan demikian? Atau anda anggap orang lain yang melakukan seperti Hatib tidak dikenai hukum ini? Artinya, boleh muslim saat ini untuk menjadikan musuh Islam sebagai pelindung. Kalau jawaban anda iya, maka dialog kita sulit dilanjutkan.
Demikian juga dengan kasus Ubay.
Artinya, jika kasusnya tunggal dinyatakan jamak, berarti hukum berlaku bagi setiap orang.
Kembali ke surat Al-Maidah:55. Kalau kasusnya tunggal dan dinyatakan jamak, berdasarkan ayat di atas, maka berlaku juga untuk orang lain, bukan hanya buat Ali radhiyallahu ‘anhu. Konsekuensinya, jika ada orang yang memberi sedekah sambil ruku’, maka ia harus anda angkat sebagai imam.
Kalau anda konsisten dengan kaidah bahasa, maka konsekuensinya adalah:
1. imam-imam syiah haruslah orang yang bersedekah sambil ruku’, bukan penunjukkan apalagi nasab. Karena ayat tersebut tidak menyebutkan demikian. Anda sendiri yang menambah-nambah.
2. setiap orang yang bersedekah sambil ruku’ harus anda jadikan sebagai imam. jadi kalau hari ini saya bersedekah sambil ruku maka saya harus anda jadikan sebagai imam.
Sekali lagi ini berdasarkan kaidah bahasa. Ini berlaku bahasa manapun termasuk bahasa Indonesia.
Saya ambil contoh. Seorang murid bernama Fulan terlambat masuk kelas selama 15 menit. Kemudian, sebagai guru, saya beri dia kue.
Jika saya membuat kalimat “Jika dia terlambat 15 menit maka akan saya beri kue”. Maka ini akan berlaku hanya buat Fulan.
Tetapi kalau saya membuat kalimat “Mereka yang terlambat 15 menit, akan saya beri kue”. Maka ini berlaku buat semua murid.
@hamba yg dhaif menulis
———————————————————————-
Dan sesungguhnya para ulama sunni manapun telah sepakat, mencaci maki dan menghina para sahabat bahkan hingga memvonis mereka telah murtad adalah sesuatu bentuk kefasikan, kemunafikan bahkan bisa menjurus pada kekafiran. Antum bisa buka aqidah ath-thahawiyah karya Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi atau ushul as-sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal.
———————————————————————–
Kalau menurut nalar saya, berarti Imam Abu ja’far Ath-Thohawi telah menghukumi fasik, munafik, kafir terhadap sahabat2 Nabi SAW sendiri, sebab;
Para sahabat bukan hanya sekedar mencaci maki dan menghina, bahkan saling menghunuskan pedang.
Sehingga sahabat Ammar bin Yasir terbunuh dalam suatu perang antara kelompok sahabat yang satu dengan kelompok sahabat yang lain…..
Lantas siapakah yang membunuh Usman bin Affan? Bukankan pelakunya adalah kaum muslimin juga?
Lantas bagaimana hukumnya bila kelompok yang memerangi pemerintahan yang sah????????
Bukankah Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib diperangi oleh Muawiyah?????????
Bukankan Kekahalifahan Ali bin Abi Thalib diperangi oleh
Talhah dan zubair dengan membawa Siti ‘Aisyah???????
Saya lihat anda ingin ngeles saja (tipikal orang syi’ah dalam berdiskusi sebagian besar spt ini), Pertanyaan yang anda harus jawab, apakah anda seorang sahabat Nabi SAW? apakah anda termasuk Ahlul bait Nabi SAW? apakah anda termasuk Generasi Awal Islam? jika bukan, ga usah anda menghukumi mereka yang sudah berlalu bagi mereka amal mereka. SEKARANG LIHAT BAGAIMANA ANDA SENDIRI, YANG SEKARANG MASIH HIDUP!! JIKA KITA MENCELA PARA SAHABAT NABI SAW, MAKA HUKUM-NYA ADALAH HARAM!! TITIK! JANGAN SUKA NGELES KEMANA-MANA! APAKAH ANDA SUKA JIKA AHLUL BAIT DICELA? JIKA ANDA SUKA KATAKAN SAJA! JIKA TIDAK SUKA, DEMIKIAN JUGA SAHABAT JANGAN DICELA! NALAR YANG SIMPLE SAYA KIRA. DENGAN JAWABAN ANDA YANG NGELES SEPERTI ITU BERARTI ANDA MEMBENARKAN BAHWA KITA BOLEH MENCELA SAHABAT DAN AHLUL BAIT! SADARKAH ANDA DENGAN HAL INI??
Hehehe akhi saiful,
Ana ingin ketawa baca jawaban antum.
Antum berkata “berarti Imam Abu ja’far Ath-Thohawi telah menghukumi fasik, munafik, kafir terhadap sahabat2 Nabi SAW sendiri”
Hehehe makanya akhi, ana sarankan baca dulu bukunya termasuk buku ushul as sunnah-nya imam Ahmad, jgn pake ra’yi antum. Yg terancam dihukumi fasik, kufur bahkan bisa menjurus pada kekafiran itu adalah generasi khalaf hingga generasi kita ini. Akhi ini gimana sih? Masa imam Abu Ja’far Ath-Thohawi & imam Ahmad mau menghukumi generasi sahabat????
Pertanyaan yg sama spt akhi sandi, apakah antum termasuk generasi awal Islam?
Katanya mau ta’at pada Allah?
Katanya mau ta’at pada Rasul?
Allah saja ridho pada generasi sahabat kok
Rasul saja mewajibkan untuk tidak mencaci sahabat2nya kok.
Antum sendiri loh yg menghimbau kita2 disini untuk ta’at, hehehe…
quote :
“saiful anwar
@taufiq
Taatilah Allah dan Rasul SAW, berarti Allah SWT lebih dulu yakni Al Qur’an baru Hadist Sahih.”
Nah, antum mau ta’at pada Allah Ta’ala terlebih dulu? berarti antum harus lepaskan diri dulu dari perselisihan para sahabat dan antum harus ridho pada mereka. Pertanyaannya, sanggupkah antum?
@akhi sandi menulis
————————————————————————–
Waduh parah benar anda ya dalam menafsirkan Al-Qur’an, pokoknya gathuk mathuk kalau orang Jawa bilang. Kalau begini caranya setiap orang bisa menafsirkan Al-Qur’an seenak udelnya sendiri.
Bertaubatlah anda Saiful, janganlah anda perturutkan hawa nafsu anda.
————————————————————————–
inilah bukti bahwa beberapa kali anda emosional dan merasa diri anda yang paling benar.
Saya sepakat dengan anda kok, bahwa tidak setiap orang bisa menafsirkan Al-Qur’an seenak udelnya sendiri. Ini berarti bahwa Allah mewariskan Ilmu Al Qur’an hanya kepada orang2 tertentu, berdasarkan nash Allah dan Rasul Nya.
Wallaahi……apalah saya, saya disini hanya mengungkap pendapat ‘ulama saja. Tidak secuilpun saya menafsirkan Al Qur’an.
@ sandi……..saya berharap, kalau ingin terus berdialog dengan saya, tolong pakai juga nalar anda dan jangan utamakan emosional.
Saya meminta asbab an nuzul QS 5:55-56 versi yang anda setujui belum anda lakukan.
Sekarang persoalan QS 5:55 terkait “tunggal atau jamak”, anda jawab hanya dengan aksi “sok pintar”
Tunjukkan argumentasi/hujjah anda bila anda merasa benar, jangan asal njeplak……………………
@taufiq……
kasus hatib dan abdullah b ubay, khitobnya berlaku umum, karena siapapun manusia sejak Nabi Adam AS, lalu dijaman skarang atau masa mendatang bisa saja mempunyai sifat seperti hatib maupun ubay.
Lain halnya dengan Waliyy/Pemimpin/Imam, hal ini sebenarnya sudah saya jelaskan diatas. Pada ayat tsb terdapat kekhususan dan pembatasan.
Yakni Innama….= sesusungguhnya tiada lain atau hanyalah.
Fakta bahwa pada periode kenabian/kerasulan dari seluruh manusia pada eranya gak mungkin menjadi nabi/rasul semua atau Imam semua. Maka begitu juga setelah wafat Nabi SAW, Waliyy penggantinyapun khusus dan terbatas.
Terlepas dari sahih atau tidak, terdapat sabda Nabi SAW riwayat Bukhari/Muslim bahwa; (saya ungkap maknanya saja:
“……….Setelahku hingga hari kiamat ada 12 khalifah seluruhnya dari Quraisy….”
Sementara kalau kita fokus pada kondisi sedang ruku’, itu bukanlah syarat yang mengikat atau prinsip. Menurut saya itu sebagai pertanda peristiwanya saja, sedangkan syarat2 yang prinsip itu dijelaskan pada ayat ayat lainnya seperti pada QS 2:124, yakni,
– Yang menyandang Imamah adalah wajib dari Dzurriyyatnya Ibrahim dan terus bersambung hingga hari Qiamat.
– Imamah tidak mungkin dianugerahkan kepada yang zalim, walaupun dia adalah dzurriyyatnya/keturunannya juga.
Oleh karena itulah pada QS 5:55 diawali dengan “Innamaa”
Sebenarnya saya senang menggunakan bahasa. Tetapi sayang sekali anda tidak konsisten. Anda juga tidak menggunakan kaidah bahasa dengan benar.
Apalagi menggunakan kata “menurut saya”. Memangnya anda siapa mau membatasi ayat Allah?
Sebuah ayat umum dibatasi jika ada ayat lain yang membatasinya. Jika ayat tersebut hanya merujuk ke ‘Ali radhiyallahu ‘anhu harus ada ayat lain yang menyatakan demikian. Tidak boleh asal praduga.
Dengan logika anda, berarti setiap orang bisa “seenak udel”nya memberi batasan tanpa dalil (mengutip komentar Akhi Sandi, jazaakumullah khoiron). Jadi menyadarkan saya betapa rusaknya akidah kalian. Apalagi perkataan anda:
Betapa beraninya anda menyepelekan kedustaan terhadap Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa salaam.
Akhi @Taufiq
Saya menggunakan kata “menurut saya” dengan maksud bila pendapat saya itu salah, maka itu memang datangnya dari saya, sedangkan bila pendapat saya benar itu adalah milik dan dari Allah SWT.
antum menulis:
——————————————————–
“Sebuah ayat umum dibatasi jika ada ayat lain yang membatasinya. Jika ayat tersebut hanya merujuk ke ‘Ali radhiyallahu ‘anhu harus ada ayat lain yang menyatakan demikian. Tidak boleh asal praduga.
——————————————————–
Saya sependapat dengan pernyataan antum tsb. Sebab ada dalil perintah umum tentang keta’atan kepada kedua orang tua, yakni pada QS 31:14. Sementara batasan/pengecualiannya ada di ayat berikutnya.
Namun akhi…., didalam Al Qur’an pun juga ada ketetapan/Iradah/Janji Allah SWT berikut batasan serta syarat-syaratnya terdapat pada ayat itu sendiri.
Hal tsb. Bisa ditinjau dari tata bahasa; nahu, sharaf, mantiq, balaghoh dari bahasa arabnya (saya gak bisa bahasa arab, cuma saya membaca dan bertanya kepada yang ahlinya).
Contohnya antara lain di ayat QS 5:55 itu, yang membatasi dan kekhususannya yaitu pada awal ayatnya “innamaaa”
Riwayat-riwayat ayat tsb terkait dengan ‘Ali bin Abi Thalib, menurut saya sudah pada peringkat mutawatir, sebab paling tidak diriwayatkan melalui jalur 10 sahabat besar Nabi SAW.
Jadi gak mungkin bagi saya untuk mencaci sahabat besar Nabi SAW. Apalagi mereka bersaksi atas satu hal yang prinsip dalam agama yakni ke-Wali-an yang merupakan amanat Allah dan Rasul-Nya, yang pendukungnya pasti akan memperoleh kemenangan seperti dijelaskan pada ayat selanjutnya (QS 5:56)
Sayyid Hasyim al-Bahrani telah menukil di dalam kitabnya Ghayah al-Muram, dua puluh empat hadis dari jalan Ahlus Sunnah yang mengatakan bahwa ayat ini turun kepada ‘Ali, dan juga sembilan belas hadis dari jalan Syi’ah.”
kemudian antum menulis………..
—————————————————————
Jadi menyadarkan saya betapa rusaknya akidah kalian.
—————————————————————-
Tolong akhi…, kasih tau saya adakah saya menulis di posting ini, seperti yang anda tulis kepada akidah antum.
Seingat saya gak ada…., kalaulah ada, sungguh….itu bukan maksud hati saya. Seharusnya kita bukan masanya lagi saling mencerca.
Kalau begini kalianlah yang ingin saling caci mencaci diantara kaum muslimin. Padahal kalian bilang itu sudah masa lalu yang merupakan tanggung jawab mereka masing masing pada zamannya.
Sayang sekali anda…. tergesa-gesa, padahal mungkin anda masih muda, terlalu cepat mengambil kesimpulan, sedangkan ada banyak ‘ulama2 Ahlus Sunnah tingkat dunia saja tidak berani menyimpulkan seperti anda.
Dan tolong diingat akhi @Taufiq…… bahwa saya juga mencintai sahabat2 besar Nabi SAW. Sebagiannya adalah para sahabat yang dicatat para ‘Ulama yang dari jalurnya asbab nuzul ayat tsb diturunkan Allah SWT.
Kalau anda perlu nama-nama mereka saya akan kutipkan disini…..
Berkaitan dengan hadist Nabi SAW ini :
“……….Setelahku hingga hari kiamat ada 12 khalifah seluruhnya dari Quraisy….”
Menurut saya hadist tsb sahih, karena para ‘ulama ahlus sunnah dan syiah sama-sama meriwayatkannya walaupun redaksi berbeda namun esensinya sama. Bisa jadi 12 Khalifah/Imam adalah berdasarkan hadist tsb.
Untuk membantah tuduhan saya, gampang kok, Mas. Cukup buktikan bahwa kata “innama” membatasi sesuatu yang jamak menjadi tunggal. Gampang ‘kan, Mas. Bukan menggunakan kata “menurut saya”. Gunakan kaidah bahasa yang mana sehingga pendapat anda benar.
Letak kesalahannya begini. Dengan kata “innama”, pelindung itu adalah Allah, Rasulullah dan orang2 beriman yg bersedekah sambil ruku (menurut terjemahan anda), maka di luar itu tidak boleh dijadikan pelindung. Itu maksud penggunaan kata “innamaa”. Dan saya belum menemukan kaidah yang mengatakan bahwa kata “innama” menyebabkan yang jamak menjadi tunggal kecuali menurut anda.
——————–
Yang mengatakan akidah anda (syiah) rusak juga bukan saya kok, Mas. Ali radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan demikian. Tetapi karena itu hadits, pasti anda bilang bahwa saya menggunakan hadits itu karena kepentingan untuk mendukung pendapat saya.
@hamba yg dho’if menulis
———————————————————————-
Hehehe akhi saiful,
Ana ingin ketawa baca jawaban antum.
Antum berkata “berarti Imam Abu ja’far Ath-Thohawi telah menghukumi fasik, munafik, kafir terhadap sahabat2 Nabi SAW sendiri”
Hehehe makanya akhi, ana sarankan baca dulu bukunya termasuk buku ushul as sunnah-nya imam Ahmad, jgn pake ra’yi antum. Yg terancam dihukumi fasik, kufur bahkan bisa menjurus pada kekafiran itu adalah generasi khalaf hingga generasi kita ini. Akhi ini gimana sih? Masa imam Abu Ja’far Ath-Thohawi & imam Ahmad mau menghukumi generasi sahabat????
———————————————————————
sama2 akhi… boleh dong saya juga ketawa hahaha…..
Yang saya tau…… hukum Allah SWT dalam Al Qur’an terkait dengan sesuatu perbuatan dosa tidak dibedakan berdasarkan periode zaman kaum muslimin hidup.
Perbuatan mencaci, mencerca, membunuh tanpa hak, hukumnya sama diberlakukan kepada siapapun dan kapanpun yakni sejak syari’at ditetapkan pada zaman Nabi SAW. hingga hari kiamat tanpa pandang bulu.
Emangnya….. ketika para sahabat Nabi SAW saling berkomplot dan menghunuskan pedang dan berakibat kaum muslimin banyak yang terbunuh, apakah mereka benar semua, salah semua, atau ada satu kelompok yang benar?
Apakah tidak ada/kebal hukum? terhadap mereka yang salah?
Yang paling bertanggung jawab adalah tokoh2 pemimpin dalam kelompok2 yang bertikai.
“Dan barang siapa mengerjakan kejahatan sekecil zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya” (QS Az Zalzalah 99:8)
“Yang saya tau…… hukum Allah SWT dalam Al Qur’an terkait dengan sesuatu perbuatan dosa tidak dibedakan berdasarkan periode zaman kaum muslimin hidup.”
Itukan yg anda tau, padahal dalam banyak kasus, Allah Ta’ala banyak mengampuni para sahabat yg khilaf spt contohnya pada kasus Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah & Mararah bin Rabi’ yg absen pd perang Tabuk yg pd akhirnya Allah Ta’ala menurunkan surat at Taubah ayat 118 sebagai tanda Allah menerima taubat mereka yg tulus. Lalu contoh yg lain pd peristiwa Haditsul Ifki yg melibatkan Aisyah, Allah Ta’ala sendirilah yg menepis mengenai berita bohong itu dengan menurunkan QS An Nuur 11-21. Lalu ketika Abu Bakar mengatakan bahwa ia tidak akan memberi apa-apa lg pada kerabatnya yg terlibat dalam berita bohong mengenai Aisyah, Allah Ta’ala menurunkan ayat selanjutnya yaitu ayat 22 untuk mengkoreksi sikap Abu Bakar.
Perihal perselisihan diantara mereka, afwan kiranya bila ana memilih untuk berlepas diri dari perselisihan mereka. Mungkin ana tdk spt antum yg doyan untuk menggembargemborkan kesalahan2 mereka, ana disini lebih memilih untuk mengikuti Al Qur’an dan sunnah yg menyuruh untuk meneladani para sahabat krn mereka adalah generasi terbaik yg telah mendampingi Rasulullah dalam berdakwah dan berjuang mengusir kemusyrikan dari bumi Arab. Karena…apa sih posisi kita dibanding generasi sahabat? apa memang kita sudah pas mengadili mereka? Wong para ulama sunni saja telah ijma’ dalam menilai seluruh sahabat itu ‘adil kok.
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.” QS Al Anfaal : 74
“orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” QS At Taubah : 20
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka,” QS At Taubah : 117
Oh iya akh, bagaimana tanggapan antum terhadap ulama syi’ah yaitu Yasir Habib yg baru2 ini menghina ummul mukminin Aisyah?
Kiranya ana cukupkan dulu diskusi dengan akhi saiful anwar. Ana mohon maaf apabila terdapat salah2 kata yg menyinggung perasaan. Ana sadar sunni dengan syi’ah sulit untuk disatukan karena beda prinsip yg banyak sekali termasuk dalam hal ushul aqidah oleh karena itu diskusi ana ini bukan dimaksudkan untuk mencari menang-kalah tp ana hanya ingin tahu bgmn sisi pemikiran syi’ah mengenai para sahabat Rasulullah, dan ana sudah dapatkan jawabannya.
Semoga akhi saiful anwar dapat kembali pada jalan ahlussunnah dan semoga Allah Ta’ala memberikan hidayahNya pada kita semua.
@alfanar, terima kasih telah menyediakan ruang diskusi di blog antum
akhi @Taufiq menulis,
—————————————————————————-
Untuk membantah tuduhan saya, gampang kok, Mas. Cukup buktikan bahwa kata “innama” membatasi sesuatu yang jamak menjadi tunggal. Gampang ‘kan, Mas. Bukan menggunakan kata “menurut saya”. Gunakan kaidah bahasa yang mana sehingga pendapat anda benar.
Letak kesalahannya begini. Dengan kata “innama”, pelindung itu adalah Allah, Rasulullah dan orang2 beriman yg bersedekah sambil ruku (menurut terjemahan anda), maka di luar itu tidak boleh dijadikan pelindung. Itu maksud penggunaan kata “innamaa”. Dan saya belum menemukan kaidah yang mengatakan bahwa kata “innama” menyebabkan yang jamak menjadi tunggal kecuali menurut anda.
————————————————————————–
Akhi @Taufiq
Kata “innamaa” dalam QS 5:55 hanya membatasi/mengkhususkan siapa-siapa saja yang dipilih-Nya menjadi Waliyy (sebagai Imam/Khalifah), seperti terdapat hadist Nabi SAW yang menetapkan Khalifah setelahku ada 12….)
Persoalan “jamak” atau “tunggal” sudah saya jawab pada posting sebelumnya, ini saya kutip lagi:
—————————————————————–
Disamping itu merupakan kelaziman dalam Al qur’an, kadang yang dimaksud adalah 1 orang, namun bahasanya Al Qur’an menggunakan kata jamak, seperti;
1) Pada kasus Hatib bin Abi Balta’ah, yang menyurati orang2 musyrik Quraisy (QS Al Mumtahanah 1)
يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ عَدُوِّى وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَآءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُواْ بِمَا جَآءَكُمْ مِّنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّـكُمْ أَن تُؤْمِنُواْ بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِن كُنتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَاداً فِى سَبِيلِى وَابْتِغَآءَ مَرْضَاتِى تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَاْ أَعْلَمُ بِمَآ أَخْفَيْتُمْ وَمَآ أَعْلَنتُمْ وَمَن يَفْعَلْهُ مِنكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَآءَ السَّبِيلِ
Ya ayyuhalladzii na aamanu = jamak, namun pada saat ayat itu turun terkait dengan kasus Hatib bin Abi Balta’ah.
2) pada kasus Abdullah bin Ubay (QS Al Munafiqun 8)
Dikatakan diayat tsb :” Mereka berkata ………..= jamak, namun pada saat ayat itu turun terkait dengan Abdullah bin Ubay.
Sekali lagi yang anda suguhkan adalah hal-hal yang tidak pasti dan kemungkinan, padahal yang namanya akidah yang menyebabkan orang menjadi kafir bila mengingkarinya haruslah jelas dan pasti tercatat dalam Al-Qur’an bukan perkiraan atau angan-angan. tunjukkan saja ada ga dalam Al-Qur’an disebutkan dengan jelas mengenai 12 Imam Ma’shum Syi’ah? jika tidak ada, maka akidah imamah ala Syi’ah adalah akidah bathil!
Sedangkan hadits yang anda sebutkan pun tidak menunjukkan bahwa 12 khalifah yang akan ada setelah Nabi SAW adalah 12 Imam Syi’ah, yang ada dan merupakan fakta sejarah adalah diantara khalifah yang pernah memimpin kaum muslimin setelah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu ‘anhum (khalifah ar-rasyiddin).
Setuju, Akhi Sandi.
Sebuah akidah, yang bisa mengkafirkan orang lain jika tidak mempercayainya, tidak mungkin dibangun dengan kata “kemungkinan”. Kalau seperti itu, tidak jauh bedanya dengan keyakinan orang Nasrani.
Setuju juga dengan 12 khalifah. Yang dinyatakan dalam hadits adalah dari Quraisy bukan keturunan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu. Dan ini juga sesuai dengan janji Allah subhanahu wa ta’ala bahwa keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam, yang tidak zhalim, akan menjadi pemimpin. Dan kita tahu bahwa Quraisy juga keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam.
Tidak ada dalil satupun bahwa yang dimaksud dengan 12 khalifah adalah keturunan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu.
Mungkin link ini bisa memberikan penjelasan mengenai 12 khalifah yg telah disabdakan Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam :
http://abu-hanan.blogspot.com/2007/01/penjelasan-hadist-dua-belas-khalifah.html
Satu nasehat saya untuk kawan2 syi’ah, janganlah mengkhusus2kan dalil yg umum (baca : maksa), coba dilihat lagi haditsnya, Nabi hanya menyebutkan dari kalangan Qur’aisy dan tidak ada indikasi pengkhususan dari kalangan ahlul bait saja. Bukankah Qur’aisy adalah keturunan Ibrahim Alaihissalam juga?
akhi @Taufiq menulis
————————————————
Setuju juga dengan 12 khalifah. Yang dinyatakan dalam hadits adalah dari Quraisy bukan keturunan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu. Dan ini juga sesuai dengan janji Allah subhanahu wa ta’ala bahwa keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam, yang tidak zhalim, akan menjadi pemimpin. Dan kita tahu bahwa Quraisy juga keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam.
Tidak ada dalil satupun bahwa yang dimaksud dengan 12 khalifah adalah keturunan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu.
————————————————-
Alhamdulillah, kalau antum sudah setuju dengan adanya 12 khalifah setelah Nabi SAW.
saya kira kita jangan gegabah dan tergesa-gesa dalam persoalan ini (Imamah/Khalifah).
Ketika kita meyakini sabda Nabi SAW menetapkan setelah beliau SAW, ada 12 khalifah (yang hakiki) sebagai penggantinya, ini membuktikan adanya kekhususan dan pembatasan siapa saja yang berhak menyandang Imamah/Khilafah.
Berarti ini sesuai dengan apa yang dikatakan para ahli bahasa arab bahwa kata2 “innamaa” QS 5:55 mengandung kekhususan dan pembatasan dari Allah SWT, bahwa yang ditunjuk Allah & RasulNya hanyalah 1 orang yang menyandang Waliy-Nya setelah Rasul SAW.
Paling tidak ada 8 riwayat sebagai dalil bahwa Imam Mahdi (Imam akhir zaman/Imam/Khalifah ke 12) adalah keturunan Imam ‘Ali AS.
Ini kita cermati satu-satu dulu yaa…
1) Diriwayatkan dari Ummu Salamah RA bahwa ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Al Mahdi dari keturunan Fathimah.” (HR Abu Dawud No. 4284, Ibnu Majah No. 4086 dan dinyatakan sahih oleh Al Bani dalam Shahih Ibnu Majah No. 3301 dan Al Jami’ Ash Saghiir No. 6610.)
Hehehe… Saya tidak setuju dengan Anda. Saya setuju dengan Akhi Sandi.
Pahami kalimat saya secara utuh, jangan sepotong-sepotong.
@Saiful Anwar.
Bicara dengan anda, sepertinya harus lebih tegas. Mungkin anda dibiasakan untuk memahami sesuatu hanya septong-sepotong.
Ini keyakinan saya berdasar dalil yang shahih:
1. Setuju dengan 12 khalifah, tetapi tidak harus keturunan Ali radhiyallahu ‘anhu. Termasuk 12 khalifah adalah Umar, Abu Bakar, dan Utsman radhiyallahu ‘anhum. Karena mereka adalah orang-orang Quraisy dan keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam.
2. Imam Mahdi adalah keturunan Rasulullah sholallahu ‘alaihi salam, tetapi bukan Imam Mahdi-nya orang Syiah.
Terus terang saya tidak memahami logika anda. Bagaimana dari kalimat ini:
Kemudian menyimpulkan seperti ini:
Apa hubungannya? Apalagi anda memotong hadits yang pertama. Hadits pertama tidak menunjukkan pembatasan. Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa salam tidak hendak membatasi. Kalau dibaca hadits ini secara keseluruhan, tujuan Rasulullah sholallahu ‘alaihi hanya memberi kabar, kabar tentang kondisi umat Islam nanti. Kalau mengikuti pemahaman Syiah, justeru kabar Rasulullah sholallahu ‘alaihi salam itu tidak benar, karena hanya ‘Ali radhiyallahu ‘anhu saja yang menjadi khalifah. Selainnya, tidak pernah.
Terus terang sekali lagi, saya tidak bisa diskusi dengan anda yang memahami sesuatu hanya sepotong-sepotong. Anda juga menggunakan dalil dengan memotong. Padahal suatu hadits akan bisa dipahami secara benar jika kita membacanya secara lengkap. Kebiasaan memotong dalil adalah kebiasaan Yahudi dan Nasrani. Dan itu cocok sekali kali disematkan ke orang-orang Syiah.
Kalau anda ingin mencari kebenaran, saya bukan orang yang tepat untuk diajak diskusi. Mungkin akhi Sandi lebih bisa membantu atau admin blog ini.
Tetapi kalau anda ingin membuktikan bahwa pendapat anda adalah benar, logika anda benar-benar tidak bisa saya terima.
@Taufiq menulis:
——————————————————————-
Hehehe… Saya tidak setuju dengan Anda. Saya setuju dengan Akhi Sandi.
Pahami kalimat saya secara utuh, jangan sepotong-sepotong.
——————————————————————-
akhi @Taufiq…………
Tak secuilpun saya berharap anda setuju dengan saya, seseorang yang meyakini aqidah keagamaan terlarang mengikuti/taqlid dengan seseorang. Keyakinan agama harus berdasarkan dalil-dalil yang kokoh dan tidak terbantahkan berdasarkan analisis aqal.
Jadi yang disetujui dan diikuti adalah dalil yang sahih tsb. Karena dalil hadist yang sahih adalah wahyu Allah SWT juga.
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain wahyu yang diwahyukan (kepadanya) — QS 53:3-4.
Begitu juga ketika anda menulis:
———————————————————————
Ini keyakinan saya berdasar dalil yang shahih:
1. Setuju dengan 12 khalifah, tetapi tidak harus keturunan Ali radhiyallahu ‘anhu. Termasuk 12 khalifah adalah Umar, Abu Bakar, dan Utsman radhiyallahu ‘anhum. Karena mereka adalah orang-orang Quraisy dan keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam.
2. Imam Mahdi adalah keturunan Rasulullah sholallahu ‘alaihi salam, tetapi bukan Imam Mahdi-nya orang Syiah.
———————————————————————-
Untuk point 1,
Ketika anda menolak dalil yang saya ajukan, tolong dalil penolakannya-pun harus anda tulis disini.
Ok-lah mungkin ada hadist yang meriwayatkan “tidak harus keturunan Ali radhiyallahu ‘anhu”
Tetapi kita tidak bisa menghindari adanya hadist sahih bahwa Imam Mahdi adalah justeru keturunan ‘Ali bin Abi Thalib. Dan bila mau dibuktikan diantara sahabat2 Nabi SAW. manakah yang lebih langsung dan mendekat kepada Nabi Ibrahim AS?
Ini saya kutip lagi hadist dan tambahan hadist berikutnya:
1) Diriwayatkan dari Ummu Salamah RA bahwa ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Al Mahdi dari keturunan Fathimah.” (HR Abu Dawud No. 4284, Ibnu Majah No. 4086 dan dinyatakan sahih oleh Al Bani dalam Shahih Ibnu Majah No. 3301 dan Al Jami’ Ash Saghiir No. 6610.)
2) Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud RA. bahwa ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Dunia tidak musnah kecuali orang Arab dikuasai seorang lelaki dari Ahlul Baitku yang namanya sama dengan namaku.” (HR At Tirmizdi no. 2230 dan dinyatakan sahih oleh Al Bani dalam Shahih At Tirmidzi No. 1818)
Nah berarti kita mendapatkan riwayat yang saling bertentangan donk………, ada hadist yang menyatakan tidak harus keturunan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada hadist yang menyatakan Imam Mahdi adalah keturunan Imam ‘Ali AS. Dan anehnya menurut para ‘ulama kedua-duanya sahih.
Dalam kondisi seperti ini, harus diambil keputusan mana yang benar?
Oleh karena itu, tolok ukur terakhir kita untuk terbimbing pada kebenaran dalam persoalan Imamah ini adalah kembali pada Al Qur’an, Allah SWT mengabulkan permohonan Ibrahim AS, bahwa anugerah Imamah mempunyai kriteria. (Perhatikan QS 2:124).
Inilah kriteria Imamah yang bisa dipetik dari ayat tsb.
1) Imamah ditunjuk Allah langsung atau melalui penunjukan/deklarasi Nabi Nya,
2) Berkesinambungan melalui dzurriyyat/keturunan darah
3) Tidak Zalim, memiliki kwalitas spiritual terbaik sejak awal hingga akhir hayatnya.
Dan perlu diingat bahwa setiap ketetapan Allah SWT itu berlaku hingga hari Kiamat, selama tidak ada ayat lain yang memansukhkannya.
untuk point 2, anda yakin juga bahwa:
————————————————————————
2. Imam Mahdi adalah keturunan Rasulullah sholallahu ‘alaihi salam, tetapi bukan Imam Mahdi-nya orang Syiah.
———————————————————————–
inilah pertanda logika anda kacau balau,
pada point 1 anda Setuju dengan 12 khalifah, tetapi tidak harus keturunan Ali radhiyallahu ‘anhu.
sementara pada point 2, Imam Mahdi adalah keturunan Rasulullah sholallahu ‘alaihi salam.
Ketahuilah bahwa keturunan Rasulullah SAW adalah melalui dzurriyyat Sayyidah Fathimah dan Imam ‘Ali AS.
Jadi kesimpulannya benar bahwa Imam Mahdi yang berkuasa pada akhir zaman adalah dari keturunan Rasulullah SAW, yakni melalui zdurriyyat Imam ‘Ali SA. dan Sayyidah Fathimah SA.
Jadi 2 dalil yang saya kutip itu sudah cukup membuktikan bahwa hadist sahih tersebut sejalan dengan kriteria yang telah ditetapkan Allah SWT dalam Al Qur’an.
Terkait dengan statement anda “tetapi bukan Imam Mahdi-nya orang Syiah” itu terserah anda, namun anda tidak dapat megelak bahwa Imam Mahdi menurut Allah & RasulNya adalah keturunan dari Imam ‘Ali SA dan Sayyidah Fathimah SA.
Alhamdulillaahirobbil ‘aalamiin.
Sepertinya, anda pun harus belajar bahasa Indonesia dan logika.
Saya tidak bilang bahwa Imam Mahdi bukan keturunan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu. Saya hanya bilang bahwa Imam Mahdi keturunan Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa salam. Padahal keturunan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang dari Fathimah radhiyallahu ‘anha adalah keturunan Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa salam juga. Jadi, ada kemungkinan bahwa Imam Mahdi adalah keturunan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu. Yang saya tolak adalah Imam Mahdi versi Syiah yang katanya sembunyi lebih dari seribu tahun karena hal ini bertentangan dengan hadits-hadits shohih yang lain, yang mengabarkan ciri-ciri Imam Mahdi.
Penarikan kesimpulan anda tentang kriteria Imamah menurut Al-Baqarah ayat 124 juga menunjukkan ketidak-mampuan anda menggunakan logika.
1. bagian kalimat yang mana, yang menyatakan bahwa Imam harus ditunjuk oleh Nabi?
2. ayat tersebut menyatakan keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam. mana yang menyatakan “harus berkesinambungan”? Apakah tidak boleh seorang Imam memilih cucu buyutnya untuk menjadi Imam? Apakah tidak boleh memilih saudaranya? Apakah juga tidak boleh memilih “saudara secanggah” (cucunya cucu dari kakeknya kakek)? Apakah tidak boleh memilih cucunya saudara secanggah?
3. syarat tidak zhalim justeru tidak bisa diterapkan buat Imam ke-12 Syiah, yang bersembunyi ribuan tahun dan menyembunyikan Al-Qur’an, sehingga milyaran manusia selama berabad-abad menjadi tersesat. Dan yang membiarkan orang Syiah dizhalimi terus-terusan oleh orang Sunni (menurut Syiah). Bahkan syarat tidak zhalim, juga tidak layak buat ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, yang “menyerahkan” umat Islam dipimpin oleh orang-orang zhalim dan tidak mentaati amanah yang diberikan oleh Rasululah sholallahu ‘alaihi wa salam untuk menjadi Imam (sekali lagi ini menurut orang Syiah).
Point 1 dan 2 itu adalah pendapat anda, kemudian anda cocok-cocokkan dengan dalil. Model pendapat seperti ini jauh berbeda dengan orang Sunni, yang bicara dulu tentang dalil kemudian menarik kesimpulan.
Tentang yang ini:
. Dalil mana lagi yang anda perlukan? Anda seharusnya membaca komentarnya Akhi Sandi. Yang anda kemukakan bukan dalil tetapi pendapat anda. Yang anda kemukakan adalah membelokkan dalil sesuai dengan keinginan anda, bukan membiarkan dalil bicara apa adanya. Sebanyak apapun dalil yang saya pakai, itu tidak akan pernah memuaskan anda. (masih ingat tuduhan anda bahwa Akhi Sandi mendhoifkan hadits karena hadits itu tidak sesuai dengan pendapatnya?).
Problem diskusi dengan anda itu bukan masalah dalil, tetapi sikap terhadap dalil, seperti ini:
– hadits. anda sudah menyikapi skeptis bahwa orang yang mendhoifkan hadits bisa jadi karena hadits itu tidak sesuai dengan pendapatnya. padahal ulama anda sendiri tidak punya metode untuk menyeleksi hadits.
– al-qur’an. anda tidak menyikapinya berdasarkan bahasa kemudian menarik kesimpulan. anda malahan menambah-nambah makna baru ke dalamnya. Contoh: zakat – anda maknai sedekah, “keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam” – anda maknai “keturunan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu”, menambah “harus berkesinambungan secara nasab”, kata jamak – anda paksakan harus berarti tunggal.
Terima kasih atas peringatan anda yang ini:
Tetapi sebenarnya ini berlaku buat anda. Allah subhanahu wa ta’ala telah meridhoi para sahabat. Demikian juga dengan isteri-isteri Nabi sholallahu ‘alaihi wa salam, terutama ‘Aisyah dan Hafshah radhiyallahu ‘anhuma. Dan itu berlaku hingga hari kiamat karena tidak ada ayat lain dari Al-Qur’an yang memansukhkannya. Kenapa Syi’ah malah “memasukkan mereka” ke neraka???
Saran saya buat anda:
1. Jadilah ulama Syiah, bukan pengikut Syiah biasa, yang mampu menyaring hadits shohih di kitab-kitab Syiah sehingga bisa anda jadikan hujjah untuk berdiskusi dengan orang Sunni. Ingat juga bahwa musuh-musuh Islam tidak akan pernah berhenti memusuhi Islam, yang salah satunya adalah dengan membuat hadits palsu dan disebarkan ke umat. Jadi, jangan biarkan hadits-hadits palsu ada di kitab-kitab Syiah.
2. Atau paling tidak belajarlah metode hadits Sunni sehingga anda bisa membuktikan bahwa ulama-ulama hadits Sunni telah curang menyaring hadits. Sehingga anda menolak hadits Sunni berdasarkan alasan yang jelas, bukan karena hadits itu tidak sesuai dengan pendapat anda.
Dan ingat juga tentang hadits ini:
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
((أَيما رجُل قال لِأَخِيْهِ : يَا كَافِرُ, فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا , فَإِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَ إِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ))
“Apabila seseorang menyeru kepada saudaranya: Wahai kafir, maka sungguh akan kembali sebutan kekafiran tersebut kepada salah seorang dari keduanya. Bila orang yang disebut kafir itu memang kafir adanya maka sebutan itu pantas untuknya, bila tidak maka sebutan kafir itu kembali kepada yang mengucapkan.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6104 dan Muslim no.60)
Ulama-ulama Syiah mengatakan “Orang Sunni kafir”. Demikian juga sebaliknya. Berdasarkan hadits itu, berarti salah satu dari Sunni atau Syiah adalah kafir. Berarti, kita saat ini memang harus memilih di antara keduanya. Dan saya memilih mengikuti ulama Sunni karena mereka memiliki metode yang jelas dan logis.
Tanggapan 1.
———————————————————————
1) Jadi, ada kemungkinan bahwa Imam Mahdi adalah keturunan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu
———————————————————————
ternyata anda pake ” kemungkinan” juga…….
jadi masih ragu-ragu nih yee …….., ya gapapa memang untuk meningkat pada keyakinan harus ragu-ragu dulu.
Tanggapan 2.
———————————————————————
2) Penarikan kesimpulan anda tentang kriteria Imamah menurut Al-Baqarah ayat 124 juga menunjukkan ketidak-mampuan anda menggunakan logika.
1. bagian kalimat yang mana, yang menyatakan bahwa Imam harus ditunjuk oleh Nabi?
———————————————————————
saya yakin sekali anda seseorang yang sering baca qur’an dan hadist.
untuk menjelaskan ini anda bisa baca pada ayat2 yang lain atau hadist yang meriwayatkan tentang penunjukan utusan atau panglima perang.
Menurut sebagian besar ulama mufassir Ayat-ayat Al Qur’an satu dengan lainnya saling menjelaskan.
Kedudukan Nabi/Rasul adalah menetapkan hukum Allah dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Karena Rasul SAW adalah seorang Imam juga, maka yang paling tahu siapa yang berkwalitas dan mumpuni adalah beliau SAW.
Pertanyaan saya: Pernahkan Nabi SAW bermusyawarah dalam menunjuk siapa yang menjadi utusan dalam satu urusan expedisi atau panglima perang?
Tolong pake logika canggih antum ya…., dalam hal menetapkan siapa yang menjadi utusan dalam suatu expedisi saja, beliau SAW menunjuk langsung tanpa berkompromi dengan sahabat2, apalagi penunjukan seorang Imam yang akan membimbing ummat secara keseluruhan.
Tanggapan 3.
——————————————————————
2. ayat tersebut menyatakan keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam. mana yang menyatakan “harus berkesinambungan”? Apakah tidak boleh seorang Imam memilih cucu buyutnya untuk menjadi Imam? Apakah tidak boleh memilih saudaranya? Apakah juga tidak boleh memilih “saudara secanggah” (cucunya cucu dari kakeknya kakek)? Apakah tidak boleh memilih cucunya saudara secanggah?
——————————————————————
Ya, memang boleh……. itu maknanya berkesinambungan dengan kriteria “dzurriyyat” dan tentunya “tidak zalim”. Makanya yang ditetapkan Nabi SAW dalam hal Imam Mahdi itu adalah termasuk cucunya kan? he he he………..
Yang paling tahu Imam selanjutnya, pastilah Imam sebelumnya. Rasulullah SAW itu telah diberi gambaran jelas oleh Allah SWT tentang masa depan ummat.
Bacalah ayat QS 2:124 dengan ikhlash ini yang menyatakan berkesinambungan : ……”wamin dzurriyyatii”…..
Dan bila anda ikhlash saya akan tunjukan ayat-ayat lainnya yang terkait dengan berkesinambungannya para Nabi/Rasul – saling terkait dalam keturunan.
Tanggapan 4.
——————————————————————-
Problem diskusi dengan anda itu bukan masalah dalil, tetapi sikap terhadap dalil, seperti ini:
– hadits. anda sudah menyikapi skeptis bahwa orang yang mendhoifkan hadits bisa jadi karena hadits itu tidak sesuai dengan pendapatnya. padahal ulama anda sendiri tidak punya metode untuk menyeleksi hadits.
– al-qur’an. anda tidak menyikapinya berdasarkan bahasa kemudian menarik kesimpulan. anda malahan menambah-nambah makna baru ke dalamnya. Contoh: zakat – anda maknai sedekah, “keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam” – anda maknai “keturunan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu”, menambah “harus berkesinambungan secara nasab”, kata jamak – anda paksakan harus berarti tunggal.
——————————————————————-
Mengenai sikap saya thd hadist, anda mengada-ada, saya tidak skeptis terhadap hadist sahih sebab dia adalah hujjah selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an. Justru andalah yang ragu-ragu padahal hadist mengenai Imam Mahdi adalah keturunan Sayyidah Fathimah & Imam ‘Ali telah disepakati ‘ulama Sunni maupun Syi’ah.
Penilaian anda bahwa : “ulama anda sendiri tidak punya metode untuk menyeleksi hadits” ternyata anda keliru, itu akibat hijab berpikir anda. Mereka juga melakukan penyeleksian hadist baik dari sisi matan maupun sanadnya.
Mengenai zakat – dimaknai sedekah, kita baca dulu dalam bahasan ilmu Fiqh. Nanti baru komentar.
Mengenai “keturunan” Ibrahim kok ke ‘Imam Ali, ya…. suatu kepastian dong bahwa ada hubungan yang berkelindan, karena Imam ‘Ali SA adalah suami Fathimah SA. Sayyidah Fathimah SA adalah putri Rasul SAW. Dan Rasulullah SAW nyambung ke Ibrahim AS. Bila dinyatakan bahwa Imam Mahdi SA itu adalah keturunan Sayyidah Fathimah, maka Imam Mahdi adalah keturunan Ibrahim AS.
Mengenai “jamak dan tunggal” pada QS 5:55 sudah 2 kali saya jelaskan, namun anda tidak menanggapi. Jadi menurut anda asbab nuzul ayat tsb. apa ada versi barunya?, tolong dong tulis disini………
@Saiful,
Saya tegaskan kembali bahwa argumentasi anda untuk doktrin Imamah Ala Syi’ah itu sangat rapuh dan saya jamin akan gagal jika dipresentasikan dalam suatu sidang ilmiah. Saya sudah berkali-kali pula tegaskan bahwa untuk permasalahan yang mengakibatkan orang akan menjadi kafir jika mengingkarinya, maka dalil untuk hal tersebut harus jelas, tsabit dalam Al-Qur’an dan Sunnah bukan hal-hal yang masih banyak kemungkinan atau penafsiran atau dugaan atau bahkan angan-angan! dan Imamah ala Syi’ah benar2 bathil jika di lihat dari sisi ini. Silahkan tampilkan saja ayat Al-Qur’an dan Sunnah yang menunjukkan dengan JELAS tanpa ada kemungkinan atau angan-angan padanya mengenai 12 imam Syi’ah. ga usah berputar-putar dan sibuk dengan pemikiran anda yang ga jelas itu!
Mengenai hadits 12 khalifah, penulis blog ini telah menampilkan postingan baru yang berkaitan dengan yg kita diskusikan:
@sandi menulis
———————————————————————
Saya sudah berkali-kali pula tegaskan bahwa untuk permasalahan yang mengakibatkan orang akan menjadi kafir jika mengingkarinya, maka dalil untuk hal tersebut harus jelas, tsabit dalam Al-Qur’an dan Sunnah bukan hal-hal yang masih banyak kemungkinan atau penafsiran atau dugaan atau bahkan angan-angan!
———————————————————————-
@sandi
Saya belum diskusi “permasalahan yang mengakibatkan orang akan menjadi kafir jika mengingkarinya” ini sebenarnya kalian mengalihkan persoalan yang dibahas pada topik ini, yakni mengenai yang terkait dengan ‘Ali bin Abi Thalib”
Aneh anda ini, kalau anda mengangap ayat2 Al Qur’an dan hadist yang saya kutipkan terkait dengan ‘Ali bin Abi Thalib bukan ayat2 yang jelas?
Asbab an Nuzul QS 5:55-56 dll, serta riwayat yang saya kemukakan berkaitan dengan ‘Ali bin Abi Thalib, itu bukanlah kemungkinan, penafsiran, dugaan dan angan2 saya pribadi.
Ini bukan rekayasa saya, lha wong banyak ‘ulama mufassir dan sejarawan muslim menulis begitu? He he he he……
Jadi tolong dong anda fokuskan, untuk membahas dalil2 yang saya ajukan, dan tuliskan menurut yang anda baca itu seperti apa, bukannya selalu fokus ke pribadi ………., sebab anda tidak bertanggung jawab dihadapan Allah SWT terhadap keyakinan yang dipilih oleh orang lain, begitu juga saya tidak bertanggung jawab dihadapan Allah SWT terhadap keyakinan yang anda pilih.
Prinsip kita sama, yakni mengikuti kebenaran yang berdasarkan dalil-dalil; Al Qur’an dan Hadist2 yang sahih.
DAKWAH AWAL NABI MUHAMMAD SAW.
(oleh Ja’far Subhani)
Reformasi Islam bertumpu pada reformasi ke dalam. Sebelum seseorang mampu mengendalikan anak-anaknya dan familinya dari kejahatan, kegiatan dakwahnya tak mungkin efektif, karena lawan-lawannya akan menudingnya dengan menunjuk perilaku keluarganya sendiri.
Dengan alasan-alasan tersebut, Allah SWT memerintahkan Nabi mengajak familinya, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, “1) sementara menyangkut dakwah umum, Dia berfirman,
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala yang diperintahkan [kepadamu] dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik,. “2)
Cara Mengajak Kerabat
Cara Nabi mengajak kerabatnya sangatlah menarik. Rahasia cara dakwah ini menjadi lebih jelas belakangan, ketika realitasnya ter¬ungkap. Ketika mengomentari ayat “berilah peringatan kepada kerabat-¬kerabatmu yang terdekat”, hampir seluruh mufasir dan sejarawan me¬nulis bahwa Allah Yang Mahakuasa memerintahkan Nabi mengajak kerabat terdekatnya untuk memeluk agamanya.
Dengan hati-hati, beliau memerintahkan ‘Ali bin Abi Thalib, yang usianya tak lebih dari lima belas tahun, untuk menyediakan makanan dan susu. Kemu¬dian beliau mengundang 45 orang sesepuh Bani Hasyim dan me¬mutuskan untuk membuka rahasianya pada perhelatan itu.
Sayangnya, seusai makan, salah seorang pamannya (Abu Lahab) menyatakan hal-hal keji dan tak-berdasar dan menyebabkan suasana jadi tidak menyenangkan bagi penyajian masalah misi kenabian. Karena itu, Nabi menganggap lebih baik menangguhkan perkara itu sampai hari berikut.
Besoknya, sekali lagi, beliau mengadakan perjamuan. Selesai makan, beliau berpaling kepada para sesepuh keluarganya dan memulai pembicaraan dengan memuji Allah dan memaklumkan keesaan-Nya. Lalu beliau berkata,
“Sesungguhnya, pemandu suatu kaum tak per¬nah berdusta pada kaumnya. Saya bersumpah demi Allah yang tak ada sekutu bagi-Nya bahwa saya diutus oleh Dia sebagai Rasul-Nya, khususnya kepada Anda sekalian dan umumnya kepada seluruh penghuni dunia. Wahai kerabat saya! Anda sekalian akan mati. Se¬telah itu, seperti Anda tidur, Anda akan dihidupkan kembali dan akan menerima pahala menurut amal Anda. Imbalannya adalah surga Allah yang abadi (bagi orang yang lurus) dan neraka-Nya yang kekal (bagi mereka yang berbuat jahat).” Lalu beliau menambahkan, “Tak ada manusia yang pernah membawa kebaikan untuk kaumnya ketimbang apa yang saya bawakan untuk Anda. Saya membawakan pada Anda rahmat dunia maupun akhirat. Tuhan saya memerintah¬kan kepada saya untuk mengajak Anda kepada-Nya. Siapakah di antara Anda sekalian yang akan menjadi pendukung saya sehingga ia akan menjadi saudara, Washi (penerima wasiat), dan Khalifah (peng¬ganti) saya?”
Ketika pidato Nabi mencapai poin ini, kebisuan total melanda pertemuan itu. Sekonyong-konyong, ‘Ali, remaja berusia lima belas tahun, memecahkan kebisuan itu. Ia bangkit seraya berkata dengan mantap,
“Wahai Nabi Allah, saya siap mendukung Anda.”
Nabi me¬nyuruh ia duduk. Nabi mengulang tiga kali ucapan permintannya kepada semua yang hadir, tapi tak ada yang menyambut kecuali ‘Ali yang terus melontarkan jawaban yang sama. Beliau lalu berpaling kepada kerabatnya seraya berkata,
“Pemuda ini adalah Saudara, Washi, dan Khalifah saya di antara kalian. Dengarlah kata-katanya dan ikuti dia.”
Sampai di sini, pertemuan berakhir. Orang-orang berpaling ke¬pada Abu Thalib dengan senyum sinis sembari berkata,
“Muhammad telah menyuruh Anda untuk mengikuti putra Anda dan menerima perintah darinya serta mengakuinya sebagai sesepuh Anda.” 3)
Yang ditulis di atas adalah inti dari versi mendetail yang dikutip kebanyakan mufasir dan sejarawan dalam berbagai ungkapan. Ke¬cuali Ibn Taimiyah, yang mempunyai pandangan khusus terhadap anggota keluarga Nabi, tak seorang pun meragukan keabsahan ri¬wayat ini, dan semua menganggapnya sebagai fakta sejarah.
Kejahatan dan Pelanggaran Amanat
Pengubahan dan penyajian fakta yang keliru serta penyembunyi¬an kenyataan yang sesungguhnya merupakan kejahatan yang jelas dan pelanggaran amanat. Sepanjang perjalanan sejarah Islam ada kelompok penulis yang menempuh jalan ini dan mengurangi nilai tulisan mereka lantaran penyajian yang keliru. Jalan sejarah dan perkembangan pengetahuan, bagaimanapun, telah mengungkapkan hal ini.
lnilah contoh penyajian yang keliru tersebut:
1. Sebagaimana diketahui, Muhammad bin Jarir ath-Thabari (me¬ninggal 310 H) te1ah mengisahkan peristiwa ajakan Nabi kepada kerabat dekatnya tersebut dalam buku sejarahnya (Tarikh ath¬-Thabari). Namun, dalam kitab Tafsir-nya, 4) ketika mengomentari ayat “dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat “, Thabari menyebutkan apa yang ia tulis dalam buku sejarahnya bersama dengan teks dan sumbernya, tapi ketika sarnpai pada kalimat “Ali adalah saudara, Washi, dan penerus saya”, ia meng-ubah kalimat itu menjadi, “‘Ali adalah saudara saya, dan lain-¬lain.”
Tak syak bahwa menghapus kata-kata “washi dan khalifah¬ku” dan menggantikannya dengan kalimat “dan lain-lain” tak mungkin lain dari pelanggaran amanat.
Sejarawan mestinya bebas dan tanpa prasangka dalam mere¬kam fakta, dan harus menulis apa yang dinilainya benar dengan keberanian dan keterusterangan yang tak tertandingi. Jelaslah, hal yang mendorong Thabari menghapus kalimat ini, dan meng¬gantinya dengan kata-kata yang mengelabui, adalah asumsi ke¬agamaannya.
Ia tidak menganggap ‘Ali sebagai washi dan peng¬ganti langsung Nabi. Karena kalimat ini jelas menunjukkan ‘Ali sebagai washi dan khalifah langsung, ia menganggap perlu mem¬bela sikap religiusnya ketika mengomentari sebab-sebab turunnya ayat tersebut.
2. Ibn Katsir Syami (meninggal 732 H) juga menempuh jalan yang sama dalam buku sejarahnya 5) sebagaimana yang ditempuh Tha¬bari sebelumnya dalam Tafsir-nya.
Kita tak dapat memaklumi Ibn Katsir, karena Tarikh ath-Thabari-lah yang menjadi dasar kitab sejarahnya, dan ia sendiri jelas-jelas merujuk ke Tarikh ath-Thabari dalam menyusun bagian ini dalam kitabnya. Tetapi, kendatipun demikian, ia tidak mengutip masalah ini dari Tarikh melainkan dari Tafsir ath- Thabari.
3. Kemudian kita sampai pada kejahatan yang dilakukan oleh Dr. Haikal, penulis buku Hayat Muhammad, yang telah membuka jalan bagi generasi baru untuk melakukan perusakan fakta. Aneh¬nya, kendati dalam prakata bukunya ia mengecam kaum orien¬talis dan menuduh mereka merusak dan memalsu fakta, ia sen¬diri melakukan hal yang sama, bahkan selangkah lebih maju, karena:
Pertama, dalam edisi pertama buku tersebut, ia mengutip peris¬tiwa ini, dengan cara merusak dan, dari dua kalimat yang ada, ia hanya mencatat satu (yakni, Nabi berpaling kepada para sesepuh itu seraya berkata, “Siapa di an tara kalian yang akan menjadi pendukung saya dalam tugas ini sehingga ia dapat menjadi saudara, washi, dan pengganti saya”) dan menghapus sama sekali kalimat lainnya menyangkut ‘Ali setelah ‘Ali menyatakan dukung¬annya. Ia sama sekali tidak menyebutkan bahwa Nabi berkata tentang ‘Ali, “Pemuda ini adalah Saudara, Washi, dan Khalifah saya.”
Kedua, dalam edisi kedua dan ketiga, ia maju selangkah dengan menghapus kedua kalimat itu dari dua tempat berbeda. Dengan begitu, ia melakukan serangan telak kepada kedudukannya sen¬diri dan bukunya.”
Kenabian dan Imamah
Pemakluman khilafah (imamah) ‘Ali di hari-hari awal kenabian Muhammad SAW memperlihatkan bahwa dua kedudukan ini berkaitan satu sama lain. Ketika Rasulullah diperkenalkan kepada masyarakat, khalifahnya juga ditunjuk dan diperkenalkan pada hari itu juga. Ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa Kenabian dan Imamah meru¬pakan dua hal yang tak terpisahkan.
Peristiwa di atas jelas membuktikan heroisme spiritual dan ke¬beranian ‘Ali. Karena, dalam pertemuan di mana orang-orang tua dan berpengalaman, tenggelam dalam keraguan dan keheranan, ia menyatakan dukungan dan pengabdiannya dengan keberanian sem¬purna dan mengungkapkan permusuhannya terhadap musuh Nabi tanpa menempuh jalan politisi yang mengangkat diri sendiri. Ken¬dati waktu itu ia yang termuda di antara yang hadir, pergaulannya yang lama dengan Nabi telah menyiapkan pikirannya untuk me¬nerima kenyataan, sementara para sesepuh bangsa ragu-ragu untuk menerimanya.
Abu Ja’far Askafi sangat fasih berbicara tentang peristiwa ini. Dalam hal ini, pembaca dapat merujuk ke Syarh Nahj al-Balaghah. 6)
Catatan:
1) Surah asy-Syu’ara’, 26:213
2) Surah al-Hajr, 15:94
3) Tarikh ath-Thabari, II, h. 62-63; Tarikh al-Kamil, II, h. 40-41; Musnad Ahmad, I, h. 111; Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, XIII, h. 210-221.
4) Tafsir ath-Thabari, XIX, h. 74
5) Al-Bidayah wa an-Nihayah, III, h. 40
6) Syarh Nahj al-Balaghah, XIII, h. 215 dan seterusnya.
Assalamu’alaikum,
Kutip : “Jika memang ‘Aliy itu ma’shum sejak ia dilahirkan, tentu ia akan tidak akan meminum khamr sebagaimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak minum khamr.”
Jika kalimat yang saya kutip itu yang menjadi tolak ukur ma’shumnya Rasulullah. Bagusnya penulis atau yang menyebarluaskannya belajar kembali apa yang dimaksud ma’shum !!!!!
Ma’shum bukan berarti tidak melakukan perbuatan salah.
Maaf kalau ada salah kata.
http://www.dalil-dalil.com/index.php/2017/04/15/benarkah-imam-ali-bin-abi-thalib-as-pernah-mabuk-sehingga-turun-ayat-khamr/