Pokok terpecahnya Sunni dan Syi’ah
Pusat perdebatan antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah berkisar pada masalah Imamah (yaitu Aimmatal Ma’shumin). Pentingnya Imamah adalah begitu besarnya sehingga Ulama Syi’ah menganggap orang-orang yang menolak Imamah menjadi kafir. Demikian pula, Ulama Sunni menganggap orang-orang yang menerima doktrin Imamah Syi’ah akan menjadi kafir.
Sebagian besar polemik perdebatan antara Sunni dan Syi’ah berputar di sekitar isu-isu seperti Mut’ah, Matam, Saqifah, Ghadir Khum, Fadak, dan isu-isu selain itu. Namun, masalah mendasar yaitu perdebatan-Imamah-adalah seringkali diabaikan. Dalam kata-kata Sidi Abu Salih:
Setiap perselisihan lain Syiah dengan Sunni [selain Imamah] berakar pada desakan Syiah pada Imamah sebagai prinsip Islam, baik dalam keyakinan maupun praktek. Dari pandangan dan interpretasi berbeda mengenai sejarah, sistem yang sama sekali berbeda dari koleksi Hadis dan otentikasi, dan perilaku yang berbeda dari mempraktekan Islam, semua ketidaksamaan tersebut dapat ditelusuri kembali mengarah kepada Imamah sebagai doktrin dalam iman Syiah.
Oleh karena adalah sangat beralasan bahwa fokus dari setiap pencarian kebenaran yang serius akan dimulai dan diakhiri dengan prinsip Imamah dalam pikiran dari pencari kebenaran. Mencoba untuk meneliti tentang perbedaan antara Syiah dan Sunni tanpa mempertimbangkan dogma Imamah sebagai titik menempel utama akan menyebabkan argumen buntu dan sia-sia. Saya secara pribadi telah menyaksikan sejumlah diskusi Sunni-Syi’ah yang dengan cepat turun ke dalam kekacauan karena satu sisi atau keinginan lain untuk membahas suatu subjek yang kurang mendasar.
Sumber: Sidi Abu Shalih, Imaamah dan Quran: Sebuah Tujuan Perspektif, p.5; buku Download di sini : http://www.lulu.com/content/213359.
Aman untuk mengatakan bahwa jika Syi’ah tidak percaya pada konsep Imamah, maka mereka tidak akan dianggap sebagai sekte yang terpisah. Masalah-masalah lain pertentangan antara Sunni dan Syi’ah hanyalah konsekuensi dari Imamah. Oleh karena itu, Imamah dan keabsahannya dalam Al-Qur’an adalah isu utama pertentangan antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Syi’ah.
Imamah
Sebelum kita melanjutkan, penting untuk menyatakan apa sebenarnya yang dimaksud dengan doktrin Imamah Syi’ah tersebut.
Doktrin Imamah Syi’ah: Selain dari para nabi, ada sekelompok orang yang ditunjuk oleh Allah yang disebut imam. Mereka ini adalah orang yang memiliki Ismah (kemaksuman) dan memiliki akses ke suatu pengetahuan yang tidak dapat diakses oleh orang biasa. Dunia tidak boleh kosong dari seorang Imam, jika tidak maka akan dihancurkan. Dalam konteks Islam, orang-orang ini adalah dua belas orang di antara keturunan Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) yang tidak ditunjuk oleh seorang pun kecuali oleh Allah (عز و جل) sendiri untuk memimpin umat Islam. Siapapun yang memilih pemimpin selain dua belas imam ini adalah sesat dan tidak beriman sempurna. Imam ke dua belas (terakhir) dari para imam tersebut adalah al-Mahdi dan, meskipun ia telah di okultasi selama lebih dari seribu tahun, ia akan kembali ketika Allah (عز و جل) menghendaki dan kemudian keadilan akan menang.
Pentingnya Imamah dalam Ajaran Syi’ah
Doktrin Imamah di atas adalah keyakinan inti dari Syi’ah. Kaum Syi’ah mempertimbangkan lima hal keyakinan sebagai dasar agama. Yaitu:
1. Tauhid (Keesaan Allah)
2. Nubuwwah (kenabian)
3. Ma’ad (hari kiamat)
4. Adl (Keadilan Allah)
5. Imamah (doktrin di atas)
Imamah dianggap oleh Syi’ah sebagai salah satu dasar [Ushuluddin] agama.
Dalam kata-kata Sidi Abu Salih:
Dalam Syi’ah, agama dibagi menjadi Ushuluddin dan Furu’uddin. Ushuluddin adalah prinsip-prinsip keyakinan agama, analog dengan Rukun Iman dalam Sunni. Furu’uddin berkaitan dengan praktek dalam agama, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya.
Untuk memperkenalkan pembaca dengan apa yang merupakan Ushuluddin dalam Syi’ah, saya akan mengutip saluran berikut dari buku Allamah Muhammad Husain al-Kashiful Gita “Aslul Syi’ah wa Ushuluha”:
“Hal-hal yang menyangkut pengetahuan atau hikmat, disebut Ushuluddin (dasar-dasar agama) dan itu adalah lima: Tauhid, Nabuwwah, Imamah, ADL, dan Ma’ad.” [“Aslul Syi’ah wa Ushuluha, Bagian II: Dasar-dasar Agama “, p.218]
Dengan pengertian yang sama, sarjana Syi’ah Muhammad Ridha Muzaffar menyatakan: “Kami percaya bahwa Imamah adalah salah satu dasar Islam (Ushuluddin), dan bahwa iman manusia tidak akan pernah lengkap tanpa adanya kepercayaan padanya.”
… Isu yang nyata dari pertentangan [antara Sunni dan Syi’ah] adalah sehubungan dengan [kepercayaan] Imamah. Sebagaimana [sarjana Syi’ah] Allamah Kashiful Gita menyebutkan: “Ini adalah pertanyaan tentang Imamah yang membedakan sekte Syi’ah dari semua sekte lain. Perbedaan lainnya tidak mendasar, itu adalah masalah furu’ (yaitu sekunder) “[ASL-ul-Syi’ah wa Ushuluha, hal.221]
Sumber: Abu Sidi Saleh, Imaamah dan Quran: Sebuah Tujuan Perspektif, p.7.
Dengan demikian, pentingnya Imamah dalam Syi’ah lebih dari pentingnya Shalat (doa); Imamah dianggap Ushuluddin [yaitu Mendasar] sedangkan Sholat adalah Furu’uddin [dgn kata lain sekunder]. Akan akurat untuk mengatakan bahwa Furu’uddin adalah konsekuensi langsung dari Ushuluddin. Imamah dianggap sebagai pilar paling penting Islam. Dan Imamah yang kita bahas di sini adalah tidak berarti “kepemimpinan” karena Sunni-pun dan juga setiap kelompok dalam Islam -menganggap kepemimpinan menjadi isu penting. Ketika kita menyebut “Imamah” di sini, kita sedang mengacu kepada doktrin khusus Syi’ah yaitu para pemimpin maksum yang ditunjuk oleh Allah yang harus diikuti.
Menolak Paham Imamah ‘ala Syi’ah
Begitu pentingnya soal Imamah bagi para ulama Syi’ah dapat dilihat dari pandangan mereka tentang orang-orang yang menolak Imamah. Mari kita lihat apa yang situs Syi’ah populer, Al-Shia.com, telah mengatakan tentang ini:
Al-Shia.com berkata :
:“فيمن جحد إمامة أمير المؤمنين والائمة من بعده عليهم السلام بمنزلة ( 6 ) من جحد نبوة الانبياء عليهم السلام . واعتقادنا ”
“فيمن أقر بأمير المؤمنين وأنكر واحدا من بعده من الائمة عليهم السلام أنه بمنزلة من آمن بجميع الانبياء ثم أنكر بنبوة محمد صلى الله عليه وآله “Imam Al-Saduk berkata, “keyakinan kita adalah bahwa orang yang menolak Imamah dari Amirul Mukminin (Ali) dan para Imam sesudah beliau, sama posisinya seperti orang yang menolak kenabian dari Sang Nabi.”
Lebih lanjut, beliau berkata: “dan keyakinan kita adalah orang yang menerima Amirul Mukminin (Ali) tetapi menolak salah seorang Imam sesudahnya, sama posisinya seperti orang yang percaya kepada semua Nabi tetapi menolak kenabian Muhammad (Saws).”
Syaikh Mufid menyatakan:
“اتفقت الامامية على أن من أنكر إمامة أحد من الائمة وجحد ما أوجبه الله تعالى له من فرض الطاعة فهو كافر ضال مستحق للخلود في النار”
Imamiyyah bersepakat (Ijma’) bahwa orang yang menolak Imamah dari salah satu Imam dan menolak ketaatan terhadap mereka dimana Allah telah perintahkan adalah sesat, kafir layak untuk tinggal di neraka selamanya.”
Oleh karena itu, kita melihat bahwa masalah Imamah adalah bukan perkara yang bisa dianggap enteng. Di satu sisi, para ulama syi’ah mengatakan bahwa mereka yang menolak Imamah adalah sesat dan layak untuk tinggal di neraka. Di sisi yang lain, Ulama Sunni mengatakan bahwa mereka yang menerima doktrin Imamah ala Syi’ah adalah benar-benar dalam kesalahan total karena mempercayai kenabian Palsu (yaitu Dajjal).
Dimana Doktrin Imamah disebutkan dalam Al-Qur’an?
Kita tanya kepada pembaca: dimana doktrin Imamah disebutkan dalam Al-Qur’an? Ini adalah pertanyaan yang sangat sehat. Al-Qur’an adalah kitab petunjuk dan kita telah diberitahu oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kapanpun kita merasa kehilangan, kita dapat berkonsultasi dengan Al-Qur’an dan ia-nya tidak akan pernah mengkhianati kita. Doktrin Syi’ah Imamah adalah bukan sebuah masalah yang kecil, tetapi adalah masalah yang sangat penting dan inti dari keyakinan Syi’ah. Begitu pentingnya permasalahan ini sehingga ulama Syi’ah berpendapat bahwa karena ketidakpercayaan terhadap doktrin ini, 80% kaum muslimin adalah sesat dan bukan mukmin sejati. Jika hal ini yang terjadi, maka kami bertanya kepada para pembaca : yang mana ayat-ayat dari Al-Qur’an yang telah memberi kita doktrin Imamah yang sangat penting ini?
Jika Imamah adalah hal yang pokok dalam Islam, dan Al-Qur’an adalah kitab pokok dalam Islam, maka pastinya Al-Qur’an harus mencantumkan keyakinan Imamah di dalamnya. Namun, selama beratus-ratus tahun, para ulama Syi’ah tidak dapat menjawab “tantangan Al-Qur’an”. Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah menantang Syi’ah berulangkali untuk menyebutkan satu saja ayat dalam Al-Qur’an yang mencantumkan konsep Imamah Syi’ah. Lagi dan lagi, siapapun yang telah mencoba mencari bukti untuk Imamah Syi’ah dari Al-Qur’an telah menemui kegagalan.
Tantangan Al-Qur’an
Ini merupakan tantangan terbuka bagi Syi’ah untuk memberikan ayat-ayat Al-Qur’an yang membenarkan garis besar dan konsep Imamah Syi’ah, dapatkah Syi’ah menyebutkan satu saja ayat yang menguraikan Imamah, tanpa adanya penambahan untuk penterjemahan, tanpa adanya sisipan dalam penterjemahan, tanpa hadits untuk “mendukung” penafsiran mereka, tanpa tafsir dan tanpa adanya komentar pribadi mereka yang menuntun kita dari ayat ke ayat?.
Ketika Syi’ah terpaksa untuk menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an tanpa ada penambahan apapun, mereka akan menemukan kemustahilan bahkan untuk lebih dekat memenuhi “Tantangan Al-Qur’an” . tidak ada satupun ayat dalam Al-Qur’an mengatakan sesuatu mengenai Imamah syi’ah bahkan yang mendekati seperti kalimat : “Wahai orang-orang beriman, sesudah Nabi, akan ada dua belas Imam yang dipilih oleh Allah dan kalian harus mengikuti mereka.” Syi’ah tidak akan pernah bisa menyebutkan satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang menunjukkan tentang Imamah bahkan hal yang mirip dengan itu. Pada kenyataannya, Syi’ah akan terpaksa membuat tafsir yang panjang dan argument yang berputar-putar dengan melibatkan ayat-ayat tertentu dengan makna-makna yang ditambahkan padanya; tetapi jika kita meminta Syi’ah untuk sekedar membaca ayat tanpa adanya sisipan, maka mereka tidak akan bisa menyebutkan bahkan satu ayat saja untuk membenarkan doktrin Imamah. Cukuplah dikatakan bahwa Syi’ah akan lumpuh dalam berpolemik jika mereka dipaksa untuk hanya menggunakan ayat Al-Qur’an saja.
Syi’ah telah menyatakan bahwa Imamah adalah dasar keyakinan, sehingga seharusnya ada banyak ayat-ayat Al-Qur’an mengenai topic ini. “Tantangan Al-Qur’an” hanya meminta Syi’ah untuk menyebutkan bahkan hanya beberapa ayat saja dari Al-Qur’an, namun ini tidak mungkin. Tidak satu ayat pun dalam Al-Qur’an menyebutkan nama-nama imam maksum mereka; bahkan nama Ali (رضى الله عنه) tidak pernah disebutkan dalam Al-Qur’an. Tetapi hal yang lebih penting dari ini, tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an menyebutkan konsep Imamah Syi’ah tersebut. Ini hal yang aneh untuk sedikitnya dikatakan; bagaimana bisa Imamah menjadi bagian dari Ushuluddin (pilar dasar keyakinan), namun tidak disebutkan satu kali pun dalam Al-Qur’an? Yang benar adalah bahwa Al-Qur’an menyebutkan semua hal mengenai dasar keyakinan, dan jika sesuatu tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, maka “sesuatu” tersebut tidak mungkin menjadi sebuah dasar keyakinan.
Imamah Tidak Terdapat Dalam Al-Qur’an
Setiap dasar keyakinan dalam Islam disebutkan dalam al-Qur’an berkali-kali. Tauhid dan konsep Allah (عز و جل) telah disebutkan dua ribu kali, konsep tentang Nabi dan Rasul (Risalah dan Nubuwwah) disebutkan berulang kali, bahkan, kata “Rasul” dan “Nabi” disebutkan lebih dari empat ratus kali. Semua hal mengenai Ushuluddin (dasar agama) selain Imamah, disebutkan ratusan kali dalam al-Qur’an. Namun Al-Qur’an benar-benar diam mengenai masalah Imamah.
Syi’ah mengatakan bahwa Imamah adalah satu dari Ushuluddin, tetapi kita melihat bahwa bahkan Furu’uddin (cabang-cabang dari dasar agama) disebutkan lebih banyak daripada Imamah (bahkan sebenarnya tidak pernah sekalipun disebutkan). Shalat, rukun Islam kedua, telah disebutkan 700 kali dalam Al-Qur’an. Zakat, rukun Islam ketiga, telah disebutkan lebih dari 150 kali. Namun, dimana Imamah? Al-Qur’an adalah petunjuk yang sempurna bagi umat manusia, namun apa yang Syi’ah katakan sebagai inti dasar keyakinan (Imamah) tidak ada di dalamnya.
Al-Qur’an jelas mengatakan bahwa Muhammad (صلى الله عليه وآله وسلم) adalah ditetapkan sebagai Rasul Allah (و عز جل) dan bahwa kita harus mengikuti beliau. Jika ada orang lain yang ditetapkan oleh Allah yang harus kita ikuti setelah beliau (Nabi Muhammad), bukankah seharusnya namanya juga disebutkan dalam Al-Qur’an? Jika terlalu banyak permintaan agar menyebutkan nama dua belas Imam dalam Al-Qur’an, bagaimana jika salah satu saja dari mereka? Bahkan Ali (رضى الله عنه) sendiri pun tidak ada namanya dalam Al-Qur’an. Untuk tujuan argumentasi, kita tidak akan hanya menuntut nama; bagaimana dengan konsep Imamah yang ditetapkan Allah yang akan datang setelah Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) dan kita harus mengikuti mereka? Kami berargumentasi bahwa Allah (عز و جل) seharusnya telah memasukkan nama-nama orang tersebut agar kitab ini benar-benar lengkap, namun jangankan hal itu, kami tidak dapat menemukan bahkan satu ayat dalam Al-Qur’an yang menggambarkan mengenai konsep Imamah. Tidak satu ayat pun Syi’ah dapat menyebutkannya dalam hal ini.
Al-Qur’an adalah panduan utama bagi umat manusia. Ia-nya berisi seluruh dasar kepercayaan dari iman kita. Jika Imamah adalah benar bagian dari iman kita, maka hal itu harus ada dalam Al-Qur’an. Tetapi Imamah tidak ada dalam Al-Qur’an dan kita menolak apapun kepercayaan yang tidak dijustifikasi oleh Al-Qur’an. Ada banyak ayat dalam Al-Qur’an yang mengatakan bahwa orang yang beriman adalah mereka yang melakukan shalat, menunaikan zakat, melakukan amal shaleh, dan hal-hal seperti itu; tetapi mengapa tidak ada satu ayat pun yang mengatakan orang yang beriman adalah mereka yang mengikuti dan menta’ati para Imam Maksum?.
Kesimpulan
Sunni dan Syi’ah, demikian halnya sekte yang berorientasi terhadap Islam lainnya, telah menetapkan sendiri hadits, tafsir, catatan sejarah dan ritual. Namun, Al-Qur’an harus disetujui oleh kedua belah pihak sebagai panduan otentik untuk kebenaran. Dalam kata-kata Sidi Abu Salih, agar suatu dialog antara Sunni dan Syi’ah membuahkan hasil:
Bilangan pembagi yang paling rendah (the lowest common denominator) harus ditemukan, sebuah karya yang akan diterima sepenuhnya otentik dari segi pesan dan keterpaduan oleh kedua belah pihak Sunni dan Syi’ah. Kitab ini, tentu saja adalah Al-Qur’an yang mulia. Oleh karena itu, tempat yang pertama dan paling penting untuk mencari penyelesaian perbedaan besar doktrin seperti antara kelompok Sunni dan Syi’ah seharusnya adalah Al-Qur’an.
Sumber: Sidi Abu Shalih, Imaamah dan Quran: Sebuah Tujuan Perspektif, p.14
Jadi, kelompok mana yang memiliki dasar keyakinan yang terdapat dalam Al-Qur’an, itu kelompok yang kita harus ikuti. Sebuah kelompok yang keyakinan mereka tidak ada dalam Al-Qur’an tidak dapat diikuti karena hal ini akan bertentangan dengan firman Allah (عز و جل). Al-Qur’an telah sempurna dalam petunjuknya; Allah (عز و جل) berfirman : “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab” (QS 6:38).
Dalam Nahjul Balaghah, yang Syi’ah percaya sebagai khotbah dan surat-surat Ali ra, Ali (رضى الله عنه) berkata : “Al-Qur’an adalah Hujjah dari Allah untuk hamba-hamba-Nya… itu adalah dasar Islam… dan pedoman bagi siapa saja yang mengikutinya dan pembenaran bagi siapa saja yang mengambilnya sebagai pendekatan dan bukti bagi yang membutuhkan sebagai pendukung dalam dialog dan pemenang bagi siapa saja yang menggunakannya dalam berargumen”. (Nahjul Balaghah, Khutbah 198)
Imam Shadiq dilaporkan telah mengatakan dalam hadits Syi’ah: “Setiap orang yang datang untuk mengakui kebenaran dari sumber lain selain Al-Qur’an tidak akan diselamatkan dari fitnah.”
Pentingnya Al-Qur’an dinyatakan dengan jelas oleh Imam maksum Syiah: “Jika kamu menemukan dua Hadis yang diriwayatkan dari kami [Imam] kemudian membandingkannya dengan Kitab Allah, apa yang sesuai kemudian ambillah dan apa yang tidak sesuai tolaklah “(Al-Istibsar, Volume 1, p.190). Dan lagi:” Apa pun yang datang kepadamu terkait kami [Imam] maka bandingkan dengan Kitab Allah, apa pun yang sesuai dengan itu maka terimalah dan apa pun yang bertentangan maka tolaklah “(Al-Istibsar, Volume 3, p.158.)
Kenyataan bahwa Imamah tidak terdapat dalam Al-Qur’an mungkin datang sebagai kejutan bagi saudara-saudara kita Syi’ah. Kami mendorong mereka untuk melihat dalam Al-Qur’an untuk ayat-ayat tentang dua belas imam maksum, dan pasti mereka tidak akan menemukannya sama sekali. Seperti yang dinyatakan oleh salah satu saudara kita: “Saya tidak menemukan ajaran Syi’ah dalam Al-Qur’an.”
Artikel ditulis oleh : Muhammad Owais
Diedit oleh : Ibn al-Hashimi, www.ahlelbayt.com
Diterjemahkan secara bebas oleh : alfanarku
Special thanks to the author of the following bookSpecial thanks to the author of the following book
“Imaamah and the Quran: An Objective Perspective”
By: Abu Salih
Synopsis: Imamah is one of the fundamental beliefs of the Shia, and it is the major difference between the Shia and mainstream Muslims. The Quran is the central book of Islam, and hence, it contains all of the major beliefs of the Muslims. In the book “Imaamah and the Quran”, the author analyzes how Imamah, the major belief of the Shia, is absent from the Quran. This book was instrumental in the creation of this website, and it can be purchased here.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Ustadz,
Ana izin copy artikel antum diatas berikut artikel yang lainnya. Dan Insya Allah akan ana sebarluaskan kepada ummat muslim via Facebook.
Jazakallahu Khoyr.
Tafadhol, Monggo, Silahkan… tetapi saya bukan ustadz ok.
Pertanyaan:
Mengapa kita harus meyakini kebenaran Syiah dan menolak kebenaran mazhab lainnya?
Jawaban:
Dalam sebuah klasifikasi umum, agama dapat dibagi menjadi dua bagian, Ilahi dan manusiawi. Agama merupakan sekumpulan keyakinan, akhlak, aturan dan ketentuan yang bertujuan untuk mengatur individu dan masyarakat serta membina manusia melalui jalan wahyu dan akal. Islam secara leksikal bermakna taslim (tunduk) dan pasrah. Adapun Syiah bermakna sebagai pengikut. Keunggulan mazhab Syiah dibandingkan dengan mazhab lainnya adalah disebabkan oleh “kebenarannya”. Di setiap masa, agama yang benar hanya terbatas pada satu agama. Allah Swt pada setiap masa memiliki satu syariat. Adapun agama-agama lainnya apakah mereka secara asasi merupakan agama yang batil atau pun tidak memiliki dasar, telah punah atau telah dianulir oleh agama yang datang setelahnya. Islam merupakan agama pamungkas dan sempurna yang diturunkan bagi umat manusia. Sedemikian sehingga Allah Swt hanya akan menerima agama Islam sebagai satu-satunya agama resmi dan sah bagi manusia. “Inna al-din ‘indaLlâhi al-Islâm.” (Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam, Qs. Ali Imran [3]:19) Waman yattabi’ ghair al-Islam dinan falan yaqbla minhu.” (Barang siapa yang mengikut agama selain Islam maka sekali-kali tidak akan diterima, Qs. Ali Imran [3]:85)
Asas dan fondasi mazhab Syiah adalah tauhid, keadilan, kenabian, imamah dan ma’ad. Syiah adalah mazhab yang meyakini terhadap adanya 12 imam maksum sebagai khalifah Rasulullah Saw dimana Imam Pertama mazhab Syiah adalah Ali bin Abi Thalib dan Imam Pamungkas (Imam Keduabelas) adalah Imam Mahdi Ajf. Dalam riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw dijelaskan jumlah bilangan dan bahkan nama-nama para Imam Maksum As.
Orang-orang Syiah merupakan sebuah komunitas yang seluruh perbuatan, keyakinan, akhlak dan semangatnya berdasarkan Islam, al-Qur’an dan seluruh titah Rasulullah Saw dan apa pun yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw dipandang sebagai perintah Allah Swt. Dan Rasulullah Saw sendiri yang menganugerahkan gelar (Syiah) ini pada masa hidupnya kepada para pengikut Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As.
@ Shohib
Artikel di atas tidak terjwb atas keunggulan syiah…bagaimana kita bisa ketemu karena syiah tidak percaya hadist sunni dan sebaliknya satu-satunya harapan adalah Al-qur`an namun sayang Al-Qur`an tidak pernah berbicara tentang nash wilayah Ali secar qoth`i sedang untuk sulaiman ada:
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: ‘Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (setnua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata.'” (QS. an-Naml: 16)
Dan Al-Quran secara qoth`i juga menunjuk kekhilafan Dawud:
ياَ دَاوُدُ إِناَّ جَعَلْناَكَ خَلِيْفَةً فِي اْلأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ الناَّسِ بِالْخَقِّ وَلاَ تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ
“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi. Maka berilah keputusan dengan adil di antara manusia. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Karena hawa nafsu itu akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Shad: 26)
Jadi kesimpulan memang tidak ada imamah sbgmn diyakini oleh syiah
@Hamba Allah
Meski dalam pandangan Syiah kedudukan imâmah merupakan kedudukan yang dianugerahkan oleh Allah Swt dan disampaikan melalui Nabi-Nya; karena imam harus memiliki kedudukan ishmah (keterjagaan dari kesalahan) dan hanya Tuhan dan Nabi-Nya yang tahu siapa yang memiliki kedudukan ishmah dan kelayakan atas kedudukan agung wilâyah dan imâmah. Namun kedudukan tersebut, secara lahir, bergantung pada adanya penerimaan dan jawaban terhadap seruan tersebut. Hal ini memiliki alasan-alasan tertentu yang akan dijelaskan sebagian di sini:
1. Nabi Saw melakukan hal ini sehingga tuntas hujjah bagi masyarakat supaya mereka tidak berkata di kemudian hari mengapa kami atau orang lain tidak dipilih. Lantaran orang-orang yang hadir pada majelis tersebut – selain Imam Ali As – tidak memenuhi dan menjawab seruan Nabi Saw pada hari Inzhar (Yaumul Inzhar) tanpa ada paksaan dan dengan pilihannya masing-masing sehingga dengan demikian tidak secuil pun kritikan atau protes yang tersisa.
2. Dengan pemilihan ini, keunggulan dan keutamaan Imam Ali As atas orang lain menjadi terbukti dan menjadi jelas bahwa tatkala Nabi Saw sendirian dan berada di bawah tekanan, penentangan para musuh, siapa yang memiliki keberanian dan kelancangan sedemikian tanpa sedikit pun kerisauan dan ketakutan menyatakan dukungannya dengan jelas dan tegas kepada Nabi Saw.
3. Perbuatan Nabi Saw adalah mempersiapkan masyarakat untuk dua persoalan penting sehingga di kemudian hari dan selepas kepergiannya orang-orang yang mencari hakikat tidak terjerumus dalam kubangan penyimpangan dan kesesatan; Pertama persoalan imâmah itu sendiri, dengan alasan bahwa masyarakat tanpa imam dan pemimpin maka masyarakat tersebut akan sirna dan binasa. Dan kedua persoalan tersedianya ruang khusus bagi penerimaan Ali As (sebagai khalifah).
4. Supaya menjadi jelas bagi umat di kemudian hari, alasan pemilihan Ali sebagai khalifah meski beliau masih belia; karena kendati kedudukan imâmah merupakan kedudukan Ilahiah namun alasan yang memuaskan harus tersedia sehingga tidak tersisa dalih dan alasan untuk membangkang dan menentang pemilihan ini.
5. Perbuatan ini selaras dan sejalan dengan kebebasan manusia dalam menunaikan taklif. Sebagaimana masalah ini diyakini oleh mazhab Syiah. Dalam peristiwa ini, baik pemimpin Quraisy, dengan kebebasan dan pilihan yang dimilikinya, tidak memenuhi seruan Nabi Saw dan juga Ali As dengan pilihannya sendiri menerima dan memenuhi seruan Sang Nabi Saw kendati semenjak awal di lauh mahfuzh Ilahi segala sesuatunya telah maklum, namun di tangan manusialah dengan kebebasan dan pilihannya, ia menyediakan ruang bagi dirinya untuk meraup taufik Ilahi, memperoleh petunjuk atau kesesatan. Sebagaimana hal ini banyak dibahas pada sebagian ayat al-Qur’an bahwa manusialah yang memilih untuk memperoleh petunjuk atau kesesatan serta menyediakan ruang tersebut dalam dirinya.
6. Peristiwa Yaumul Inzhar merupakan indikator dalam komunitas Muslim bahwa segala sesuatunya berdasarkan kebebasan dan pilihan masyarakat Muslim sendiri serta tidak terdapat pemaksaan, sistem diktator dan diskriminasi di dalamnya. Melainkan hal ini sesuai dengan kelayakan orang-orangnya. Sedemikian sehingga dengan kelayakan tersebut telah menjadi ruang tersedianya penerimaan tanggung jawab dan bersandar pada kriteria-kriteria Ilahiah. Bukan berdasarkan pada kekerabatan dan hubungan sanak famili (bukan berdasarkan pilihan manusia).
Wassalam
@ sHOHIB
Maaf anda berargument tanpa dilandasi referensi yang bisa diterima oleh kaum muslimin…taruhlah misalnya kita tidak memakai hadist sebagai argument karena kreteria dan metodologi sunni&syi`i jelas sangat beda cukup kita misalnya memakai alQuran lantas ayat mana yang menunjukkan imamah secara qoth`i…karena alqur`an menyebut ttg pewarisan nubuah sulaiman dari dawud kok hal yang mendasar ttg imamah tdk disebut jelas padahal ini sangat prinsip seandainya ada pasti tidak ada perdebatan prinsipil ini dari 14 abad yg lalu hingga kini
@Shohib
Ttg ishmah rosulullah juga jelas disebut dalam al quran:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. “QS. an-Najm (53) : 3
dengan ayat tersebut Sunni-Syi`i sepakat dengan ishmah rosulullah walaupun mereka mempunyai defenisi yang berbeda
Lantas ayat mana yang menunjukkan ishmah imam syiah????
jangan anda berargumen dengan asumsi…
Jika keberadaan imamah dan ishmah bagi imam adalah hal yang prinsip knp alquran tidak mempertegasnya sebagai mana alquran mempertegas bahwa Muhammad adalah rosul yang mempunyai ishmah….
Sekali saya akan nukil pendapt anda di point:
“3. Perbuatan Nabi Saw adalah mempersiapkan masyarakat untuk dua persoalan penting sehingga di kemudian hari dan selepas kepergiannya orang-orang yang mencari hakikat tidak terjerumus dalam kubangan penyimpangan dan kesesatan; Pertama persoalan imâmah itu sendiri, dengan alasan bahwa masyarakat tanpa imam dan pemimpin maka masyarakat tersebut akan sirna dan binasa. Dan kedua persoalan tersedianya ruang khusus bagi penerimaan Ali As (sebagai khalifah”
Jika argumen anda betul
1.mengapa alquran tidak menyebutkan padahal ttg sulaiman mewarisi dawud di sebut
2.Kenapa imam hasan bin ali menyerahkan kekuasannya
3. Dan fakta sejarah knp Imam Ali baru sekian lama jadi khalifah dan tidak pernah menuntut scr lgs setelah rosul meninggal bahkan tunduk dibawah 2 kholifah sebelumnya
4. Kalau benar riwayat-riwyat syiah tentang Umar shg mereka mencaci dan melaknatnya knp dia diambil sbg menantu….dan sebetulnya masih banyak pertanyaan bukti sejarah yang jelas2 dogma2 syiah mengingkarinya Nah kita berangkat dari imamah dan ishmah krn hal inilah yg paling prinsip….pls sebut ayat yg nyata shg bs diterima kalau memang akidah tersebut ada, tapi sekali lagi jangan pake asumsi
@Hamba Allah
Baiklah kalo anda menghendaki referensi (nash Al Qur’an dan Hadits). Silahkan anda baca dan pahami penjelasan dibawah ini;
Imâmah memiliki nilai yang sangat signifikan dalam Islam. Menurut perspektif al-Qur’an imâmah merupakan tingkatan terakhir dalam perjalanan manusia menuju kesempurnaan yang hanya dapat dicapai oleh para nabi ulul azmi. Terkait Nabi Ibrahim As, al-Qur’an menyatakan: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunaikannya (dengan baik). Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata, “Dan dari keturunanku (juga)?” Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah [2]:124) (dan hanya sekelompok dari keturunanmu yang suci yang laik menjabat makam penting ini).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa makam (imâmah) sedemikian tingginya sehingga Nabi Ibrahim, setelah menerima jabatan kenabian dan risalah pada akhir hidupnya dan setelah melintasi pelbagai ujian dan tantangan berat, beliau ingin mendapatkan kehormatan dengan memangku jabatan ini.
Kedudukan imâmah pada sebagian urusan dapat dikumpulkan dengan makam kenabian. Seperti pada nabi ulul azmi yaitu Nabi Ibrahim al-Khalil As yang di samping mencapai makam kenabian dan risalah juga sampai pada makam imâmah. Dan yang lebih benderang lagi adalah terkumpulnya makam kenabian, risalah dan imâmah pada diri Nabi Muhammad Saw. Boleh jadi pada hal-hal tertentu makam imâmah ini berpisah dari makam risalah dan kenabian; seperti pada para imam Maksum yang hanya memikul jabatan imâmah tanpa adanya wahyu yang diturunkan kepada mereka.
Keharusan Adanya Imam
Keharusan adanya imam adalah sama berbanding lurus dengan keharusan diutusnya para nabi.
Allamah Hilli, dalam menjelaskan ucapan Khaja Nasiruddin Thusi yang menyebutkan sebagian keharusan adanya imam, berkata:
1. Adanya Nabi merupakan suatu hal yang harus dan mesti sehingga pengenalan rasional (aqli) manusia dikuatkan dengan perantara pengenalan referensial (naqli). Karena meski manusia dapat memahami dan mencerap hakikat prinsip dan cabang agama dengan wahana fakultas akalnya akan tetapi pada kedalaman diri manusia terpendam sifat was-was dan goncangan-goncangan yang akan menjadi penghalang bersandarnya manusia kepada prinsip-prinsip dan cabang agama berikut pengamalannya. Namun tatkala hukum-hukum rasional (akal) dikuatkan dengan penjelasan para pemimpin Ilahi maka segala jenis goncangan dan was-was akan tersingkirkan dan manusia dengan fakultas hatinya akan seiring-sejalan dengan pelbagai temuan akal.
2. Banyak perkara dimana akal tidak mampu mencerap sisi baik dan buruknya sesuatu sehingga harus berlabuh pada pangkuan para pemimpin Ilahi sehingga manusia dapat mengenal kebaikan dan keburukan pelbagai perkara tersebut.
3. Banyak hal yang bermanfaat dan sebagian lainnya adalah merugikan. Manusia dengan semata-mata dengan mengandalkan pikirannya tidak dapat mencerap untung dan ruginya perkara tersebut. Di sinilah ia merasa memerlukan pemimpin Ilahi yang menjelaskan baik dan buruknya pelbagai hal. Di sinilah tugas para pemimpin Ilahi yang berhubungan dengan sumber wahyu.
4. Manusia adalah entitas dan makhluk sosial. Menjadi makhluk sosial tanpa adanya aturan-aturan yang menjaga hak-hak setiap invididu dalam masyarakat dan mengantarkan manusia pada jalan yang benar maka hal ini sekali-kali tidak akan terimplementasikan dan dapat mengantarkan manusia mencapai kesempurnaan yang diidamkan. Menentukan dan mengidentifikasi aturan-aturan ini secara benar berikut operasionalnya tidak akan tercapai kecuali dengan perantara para pemimpin Ilahi yang alim, suci dan maksum.
5. Manusia dalam mencerap, memahami kesempurnaan, menuntut pengetahuan dan maarif serta mencapai pelbagai keutamaan, sebagian dari mereka memiliki kemampuan untuk melangkah di jalan ini dan sebagian lainnya tidak mampu. Para pemimpin Ilahi menguatkan kelompok pertama dan menolong kelompok bagian kedua. Sehingga kedua kelompok ini sampai pada kesempurnaan.
6. Dengan memperhatikan tingkatan-tingkatan akhlak pada diri manusia, satu-satunya jalan untuk membiakkan pelbagai keutamaan ini adalah melalui para pemimpin Ilahi yang suci dan maksum.
7. Para pemimpin Ilahi mengetahui seutuhnya pelbagai ganjaran, hajaran, pahala dan hukuman Ilahi sebagai imbalan atas ketaatan dan perbuatan dosa. Tatkala memberitahu kepada orang lain seluruh masalah ini maka akan menimbulkan motivasi tinggi untuk mengerjakan segala yang menjadi tugas dan kewajibannya.[1]
Dengan memperhatikan bahwa imâmah bukanlah sesuatu yang lain kecuali tongkat estafet dan kelanjutan dari kenabian, maka ghalibnya pelbagai filsafat terkait dengan para imam maksum juga dapat ditetapkan. Dengan kata lain, Tuhan yang menciptakan manusia untuk melintasi jalan kesempurnaan dan kebahagiaan adalah Tuhan yang mengutus para nabi untuk membimbing dan memberikan petunjuk kepada manusia. Lantaran manusia harus bersandar pada kekuatan wahyu dan memiliki derajat kemaksuman maka keniscayaannya adalah bahwa untuk melanjutkan jalan ini, setelah wafatnya Rasulullah Saw, Allah Swt mengangkat para khalifah yang maksum yang akan membantu umat manusia untuk sampai kepada tujuan utamanya sedemikian sehingga tanpa pos imâmah ini tujuan ini tidak akan tercapai.
Karena Pertama, semata-mata bersandar pada akal manusia tentu tidak memadai untuk mengidentifikasi seluruh faktor dan sebab kemajuan dan kesempurnaan manusia. Dan terkadang bahkan sepersepuluhnya saja manusia tidak kuasa mengidentifikasi faktor-faktor tersebut.
Kedua, ajaran para nabi setelah wafatnya boleh jadi mengalami penyimpangan dan distorsi. Untuk mencegah pelbagai distorsi maka sudah seharusnya ada seorang maksum dan Ilahi yang menjaga dan mengawal ajaran tersebut. Benar bahwa Allah Swt berfirman terkait al-Qur’an: Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa nahnu ‘alaih lahafizun,” (Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Dzikra (al-Qur’an) dan Kami yang menjaganya, al-Hijr [15]:9) namun untuk menjaga agama Allah Swt mengangkat para maksum yang merupakan sebab dan faktor bagi manusia untuk sampai kepada kesempurnaan.
Kesemua ini disebutkan pada penjelasan Imam Shadiq As yang bersabda: “Di antara kami Ahlulbait pada setiap generasi terdapat orang-orang adil yang menjaga agama dari penyimpangan orang-orang ghulat, memangkas tangan-tangan ahli bid’ah, para pencipta agama dan ahli batil. Serta memelihara dari pelbagai takwil keliru orang-orang jahil.”[2]
Imam Ali As bersabda: “Sekali-kali bumi tidak akan kosong dari hujjah, lahir atau tersembunyi sehingga dalil-dalil Ilahi dan tanda-tanda-Nya tidak kabur.”[3]
Ketiga, Membentuk pemerintahan Ilahi dan menegakan keadilan serta menyampaikan manusia kepada tujuan-tujuan yang menjadi maksud penciptaannya tidak dapat terlaksana kecuali melalui hadirnya para maksum. Karena pelbagai pemerintahan manusia sesuai dengan bukti-bukti sejarah senantiasa untuk semata-mata mengeruk keuntungan material orang-orang atau kelompok tertentu dan seluruh usaha mereka adalah untuk maksud ini. Sebagaimana berulang kali kita menyaksikan pelbagai wacana seperti demokrasi, pemerintahan rakyat atau hak-hak asasi manusia dan semisalnya adalah sekedar kedok untuk mencapai tujuan-tujuan setan pelbagai kekuasaan. Dan mereka dengan memanfaatkan media-media ini dalam bentuk lahir lalu ditimpakan kepada masyarakat untuk meraih tujuan-tujuan duniawinya. Imam Ali As dalam ucapan singkat mencirikan ruh imâmah sebagai berikut: “Kedudukan seorang imam yang memerintah urusan kaum Muslimin adalah laksana kedudukan benang bagi manik-manik, karena ia menghubungkan dan mengumpulkan mereka. Apabila benang putus, mereka akan terserak dan hilang dan tak akan berkumpul lagi.” [4]
Keempat, kelanjutan perintah-perintah agama yang harus diterapkan pada masyarakat memerlukan adanya para imam yang mengetahui segala sesuatu dan seluruh masalah agama sehingga tidak secuil pun keburaman dan keraguan tersisa bagi setiap orang.
Dari apa yang kami sebutkan menjadi jelas masalah keharusan dan falsafah keberadaan para Imam Maksum.
Hal-hal yang disebutkan ini merupakan dalil-dalil yang menjelaskan keyakinan kita terkait masalah imâmah dan para imam. Dan sebagai kesimpulannya adalah bahwa apabila kita meyakini bahwa Islam sebagai agama pamungkas maka konsekuensi logisnya adalah kita harus meyakini masalah imâmah.
Sebagian orang berkata bahwa pengangkatan imam dan urusan kepemimpinan umat pasca wafatnya Rasulullah Saw diserahkan kepada umat untuk memilih sendiri pemimpin mereka. Mereka beranggapan bahwa mengangkat seorang imam suatu hal yang tidak perlu dilakukan.
Dalam menjawab anggapan ini cukup kita bersandar pada poin ini bahwa apabila seseorang membangun sebuah pabrik penting yang bertujuan untuk memproduksi berlian yang paling mahal dan keberlanjutan produksi ini menjadi fokus perhatiannya, hadir dan absennya dan bahkan setelah wafatnnya, pabrik ini tidak boleh berhenti memproduksi. Dalam pabrik ini terdapat alat-alat yang canggih yang penggunaannya hanya diketahui oleh segelintir orang saja, kecuali para ahli dan penemu yang mengajarkan kepada orang-orang cara pakai alat-alat tersebut, apakah masuk akal dan dapat diterima bahwa penemu mesin-mesin canggih ini mengumumkan bahwa ia akan mati tidak lama lagi, namun ia tidak menentukan (atau melatih) seorang yang pandai dan mahir terhadap peralatan untuk mengatur alur produksi pabrik? Tentu saja akal sehat tidak akan pernah menerima hal ini.
Apakah pelbagai kerumitan dan ketelitian ilmu-ilmu al-Qur’an, sunnah, hukum-hukum Ilahi, ayat-ayat muhkam dan mutasyabih dan sebagainya yang semuanya disiapkan untuk mengatur kehidupan manusia pada seluruh bidang dan strata lebih sederhana dari mesin-mesin canggih di pabrik ini? Tentu saja tidak demikian.
Dan apakah hasil dan buah agama yang membina berlian dan kesempurnaan manusia (sampai kepada makrifatullah dan ibadah kepada-Nya) dan mengubah syahwat manusia menjadi iffah (mengenal kemuliaan), amarahnya menjadi keberanian, dan menegakkan madinah fadhilah (masyarakat madani) berdasarkan petunjuk dan hidayah Ilahi kurang dari hasil dan produksi pabrik berlian tersebut? Sama sekali tidak.
Lalu bagaimana mungkin kita dapat percaya bahwa agama yang programnya berlanjut hingga hari terakhir kehidupan manusia (baca Kiamat) dan untuk memberikan petunjuk kepada manusia, tidak membina dan menentukan orang-orang yang cakap dan laik setelah nabinya sehingga ia memikul tugas dan tanggung jawab (selain kenabian) untuk membimbing umat dan mengawalnya untuk sampai pada kesempurnaan?
Dalil Imâmah para Imam Maksum
Karena masalah imâmah dan pengangkatan Imam harus bersumber dari sisi Allah Swt, maka untuk mengenal imam kita memerlukan nash (ayat dan riwayat) yang definitif dan dalil-dalil rasional yang menetapkan bahwa orang-orang ini adalah para imam yang disangkat oleh Allah Swt. Misalnya akal manusia tatkala menemukan pelbagai tipologi imâmah seperti ilmu, keadilan, keberanian, kemaksuman pada diri seseorang secara sempurna dan orang lain tidak memiliki tipologi-tipologi ini maka dia akan menghukumi bahwa siapa yang seharusnya menjadi imam. Atau dengan perantara ayat-ayat al-Qur’an atau riwayat-riwayat yang bersifat definitif baik dari sisi keluarannya (qath’i al-shudur) atau dari sisi petunjuknya (qath’i al-dhalalah) yang menetapkan siapa yang laik menjadi imam.
Berikut ini kami akan menyebutkan beberapa ayat dan riwayat yang tafsirannya mengangkat masalah ini:
1. “Innama anta mundzir wa likulli qaumin hâdin.” (Sesungguhnya engkau [hanyalah] adalah seorang pemberi peringatan dan pada setiap kaum terdapat seorang yang memberikan petunjuk, Qs. Al-Ra’ad [13]:7)
Para penafsir Syiah dan sebagan penafsir Ahlusunnah di antaranya Imam Fakhurrazi seorang mufassir kawakan Ahlusunnah berkata: Pemberi peringatan adalah Nabi Saw dan pemberi petunjuk (hâdi) adalah Ali As. Lantaran Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Saw meletakkan tangannya yang mulia di dadanya dan berkata: “AKu adalah pemberi peringatan (Ana al-Mundzir). Dan kemudian menunjuk kepada Ali bin Abi Thalib As dan bersabda: “Dan engkau adalah pemberi petunjuk (Hâdi) wahai Ali! Bika yahtadi al-muhtadun min ba’di.” (Melaluimu orang-orang yang mencari petunjuk mendapatkan petunjuk).[5]
Tafsir al-Durr al-Mantsur yang merupakan tafsir yang popular di kalangan Ahlusunnah menukil banyak riwayat dari Nabi Saw terkait dengan penafsiran ayat ini: “Nabi Saw tatkala ayat ini diturunkan beliau meletakkan tangannya yang penuh berkah di dadanya dan bersabda: “Aku adalah pemberi peringatan. Dan kemudian menunjukkan kepada Ali bin Abi Thalib As dan bersabda: Engkau adalah pemberi petunjuk wahai Ali…”[6]
Riwayat-riwayat yang lain dinukil dengan kandungan yang sama dari sekelompok ulama terkemuka Ahlusunnah seperti Hakim Naisyabur dalam Mustadrak, Dzhabi dalam Talkhis, Fakhrurazi dan Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir-nya, Ibnu Sabbagh Maliki dalam al-Fushul al-Muhimmah, Ganji Syafi’I dalam Kifâyat al-Thâlib, Thabari dalam Tafsir-nya, Ibnu Hayyan Andalusi dalam Bahr al-Muhith, Naisyaburi dalam Tafsir-nya, Hamuni dalam Farâidh al-Simthaîn dan kelompok lainnya dalam kitab-kitab tafsir mereka. Untuk mengetahui sumber-sumber hadis ini dan referensinya Anda dapat merujuk pada kitab Ihqâq al-Haq, jil. 3, hal. 88-92.
2. “Yâ Ayyuhalladzina Amanu Ittaqullâh wa Kunû ma’a al-Shâdiqîn.” (Wahai orang-orang beriman bertakwalah dan hendaklah kalian bersama orang-orang benar, Qs. Al-Taubah [9]:119)
Imam Fakhrurazi dalam menafsirkan redaksi “al-Shadiqin” berkata bahwa yang dimaksud dengan shâdiqin adalah para maksum. Akan tetapi ia menambahkan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang maksum adalah seluruh umat.[7] Sementara tiada seorang Arab pun yang memahami ayat ini sebagai seluruh umat tatkala ayat ini diturunkan lantas bagaimana ayat ini dapat dipahami sebagai seluruh umat? Karena itu harus kita terima bahwa pada setiap masa dan zaman terdapat seorang shâdiq yang tidak memiliki kesalahan dalam ucapannya sehingga ia harus kita ikuti!
Di samping itu, banyak mufassir dan muhaddis Ahlusunnah seperti Ibnu Abbas menukil bahwa ayat di atas adalah berkaitan dengan Baginda Ali bin Abi Thalib As. Allamah Tsa’labi dalam Tafsir-nya, Ganji dalam Kifâyat al-Thâlib, Allamah Sibth al-Jauzi dalam Tadzkirah adalah sekelompok ulama yang menukil demikian bahwa: Para ulama Sirah (sejarah Nabi) berkata bahwa makna ayat ini adalah bahwa kalian harus bersama Ali dan keluarganya. Ibnu Abbas berkata: “Ali As adalah tuan dan penghulu para shadiqin.”[8]
Terdapat anyak riwayat yang sampai kepada kita melalui Ahlulbait yang menegaskan makna ini.[9]
3. “Athi’ûLlâh wa Athi’ûrrasul wa Ulilamri minkum.” (Taatilah Allah dan taati Rasuluulullah dan Ulil Amri di antara kalian., Qs. Al-Taubah [9]:)
Para penafsir Syiah semuanya sepakat bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri pada ayat ini adalah para Imam Maksum As.
Di samping itu, Syaikh Sulaiman Qunduzi Hanafi dalam kitabnya Yanâbi’ al-Mawaddah yang menukil dari Tafsir Mujahid bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib As. Pada waktu itu, yaitu pada perang Tabuk, Rasulullah Saw menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifahnya (man in charge) di Madinah. Dan juga diriwayatkan dari Ali As; Dalam sebuah percakapan dengan kaum Muhajirin dan Anshar berargumen dengan mereka tentang ayat ini namun kaum Muhajirin dan Anshar tidak membantahnya.[10]
Dalam Syawâhid al-Tanzil, Hakim Huskani, seorang ulama Ahlisunnah, menukil sebuah riwayat terkait dengan ayat ini bahwa Baginda Ali As berkata bahwa Aku bertanya kepada Nabi Saw tentang siapa gerangan “Ulil Amri” itu? Nabi Saw bersabda: “Engkau adalah orang yang pertama (dari Ulil Amri itu).”[11]
Imâmah dalam Riwayat
Masalah imâmah adalah sebuah masalah yang banyak diangkat dalam riwayat yang bersumber dari Nabi Saw dimana pada kesempatan ini kami akan menyebutkan beberapa di antara riwayat tersebut sebagai contoh:
1. Hadis Tsaqalain:
Hadis yang dinukil dari Rasulullah Saw ini banyak disebutkan pada kitab-kitab utama Syiah dan Ahlusunnah (sumber-sumber kelas satu) sedemikian sehingga tiada keraguan bahwa hadis tersebut disampaikan oleh Nabi Saw. Dari kumpulan hadis ini menjadi jelas bahwa Nabi Saw menjelaskan hadis ini pada pelbagai kesempatan yang menandaskan pentingnya hadis ini. Dalam kitab Shahih Muslim salah satu kitab ternama dan sumber utama Ahlusunnah dan tergolong sebagai kitab paling penting di antara enam kitab sahih Ahlusunnah (Sihah al-Sittah). Shahih Muslim menukil dari Zaid bin Arqam yang menyebutkan bahwa: “Rasulullah Saw berdiri di hadapan kami dan meyampaikan khutbah pada sebuah telaga yang disebut sebagai Khum (Ghadir Khum) yang terletak antara kota Mekah dan Madinah. Setelah mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah Swt (tahmid) beliau bersabda: Amma ba’du, Ayyuhannas! Aku adalah seorang manusia dan sudah dekat malaikat Tuhanku datang menjemputku dan aku akan menjawab panggilan itu. Dan aku tinggalkan bagi kalian dua pusaka (tsaqalain) yang pertama adalah Kitabullah yang di dalamnya terkandung petunjuk dan cahaya. Karena itu ambillah Kitabullah itu dan berpegang teguhlah kepadanya – di sini Rasulullah Saw banyak memotivasi tentang al-Qur’an – lalu bersabda: Dan aku wasiatkan Ahlulbaitku janganlah kalian lupa Ahlulbaitku (Rasulullah Saw mengulang kalimat ini sebanyak tiga kali).[12] Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam tidak boleh melupakan tanggung jawab Ilahi ini terkait dengan Ahlulbait As.
Menyandingkan Ahlulbait di samping al-Qur’an, sebagai dua pusaka berharga dan sebanyak tiga kali ditegaskan dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa perkara ini bertautan secara berkelindan dengan suratan nasib kaum Muslimin, pemanduan mereka, penjagaan asas dan fondasi Islam. Apabila tidak demikian maka keduanya tidak akan bersanding.
Hadis tsaqalain dinukil secara luas dalam kitab-kitab terkemuka Ahlusunnah, Sunan Tirmidzi,[13] Sunan Darami,[14] Musnad Imam Ahmad (yang merupakan salah satu imam dari empat imam mazhab Ahlusunnah),[15] Sunan Nasai,[16] Mustadrak al-Shahihain,[17] Shawaiq al-Muhriqah,[18] Usud al-Ghabah fi Ma’rifat al-Shahabah, karya Ibnu Atsir[19] dan Jalaluddin Suyuthi dalam kitab Ihya al-Mayyit,[20] Sunan Baihaqi,[21] al-Mu’jam al-Kabir[22] karya Hafizh Thabarani dan pada kitab-kitab standar Ahlusunnah.
Mir Hamid Husain Hindi dalam kitab Khulâsha ‘Abâqat al-Anwâr menyebutkan 126 kitab terkemuka dan menukil redaksi yang sama masing-masing lengkap dengan alamat jilid dan halaman kitab-kitab tersebut.[23]
Hal ini merupakan tinjauan sanad hadis tsaqalain. Akan tetapi dari sisi makna dan kandungan hadis nabawi ini terdapat poin-poin yang sangat akurat di antaranya:
A. Al-Qur’an dan Ahlulbait senantiasa bersama dan tidak akan pernah terpisahkan. Bagi mereka yang mencari hakikat dan kebenaran maka ia harus mencarinya pada Ahlulbait As.
B. Sebagaimana wajib bagi kaum Muslimin untuk mengikuti al-Qur’an tanpa reserved maka mengikuti Ahlubait tanpa reserved adalah wajib juga bagi kaum Muslimin.
C. Tidak terpisahkannya Al-Qur’an dan Ahlulbait As dan kewajiban mentaati keduanya tanpa tedeng aling-aling merupakan bukti nyata atas kemaksuman keduanya dari segala kesalahan, dosa dan kekeliruan.
D. Nabi Saw bersabda bahwa dua pusaka ini (al-Qur’an dan Itrah) senantiasa bersanding hingga kaum Muslimin menghadap Rasulullah Saw kelak di samping Telaga Kautsar dan hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa pada sepanjang sejarah Islam terdapat seorang dari Ahlulbait yang menjabat sebagai pemimpin (imam) maksum dan sebagiamana al-Qur’an senantiasa merupakan pelita hidayah maka para Imam Maksum ini juga adalah pelita hidayah. Karena itu kita harus senantiasa berupaya untuk menemukan mereka pada setiap zaman.
E. Dari hadis tsaqalain dapat dipahami bahwa berpisah atau mendahului Ahlulbait adalah sebab kesesatan dan penyimpangan.
F. Para Imam Ahlulbait adalah orang-orang yang lebih utama, lebih pandai dan lebih unggul dari semuanya.
Yang menarik bahwa Samhudi Syafi’i salah seorang ulama terkemuka Ahlusunnah pada abad kesembilan dan kesepuluh Hijriah dalam sebuah tulisannya bernama “Jawâhir al-‘Aqdain” yang ditulis berkenaan dengan hadis tsaqalain. Ia menulis, “Hadis ini memahamkan (kepada kita) bahwa pada setiap zaman hingga hari kiamat terdapat seseorang dari kalangan Ahlulbait As yang memiliki kelayakan untuk diikuti dan dijadikan sebagai sandaran. Sebagaimana al-Qur’an demikian adanya.” [24]
2. Hadis Safinah:
Hadis ini merupakan salah satu hadis terkenal tentang Ahlulbait As dan para Imam Maksum As. Hadis safinah ini dinukil secara luas dalam kitab-kitab ternama Syiah dan Ahlusunnah.
Hadis ini dinukil dari minimal 8 orang sahabat Nabi Saw, Abu Dzar, Abu Said Khudri, Ibnu Abbas, Anas, Abdullah bin Zubair, ‘Amir bin Watsilah, Salmah bin Al-Akwa’ dan Ali bin Abi Thalib As. Hadis ini disebutkan pada puluhan kitab-kitab utama Ahlusunnah.
Demikian Abu Dzar menukil hadis ini: “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: Matsalu Ahlubaiti kamatsali Safinat Nuh fi Qaumin Nuh. Man Rakibahâ najah wa man Takhallafa ‘anha halaka.”[25] (Perumpamaan Ahlubaitku bagi kalian laksana bahtera Nuh. Barang siapa yang menaikinya akan selamat dan barang siapa yang terpisah darinya akan binasa).”
Penyusun kitab Abaqat al-Anwar menukil hadis ini dari 92 kitab melalui 92 orang ulama terkemuka Ahlusunnah (berikut seluruh rinciannya).[26]
1. Pasca Rasululllah Saw angin puting beliung kesesatan dan penyimpangan akan menghantam seluruh umat Islam dan alangkah banyaknya orang yang akan binasa.
2. Untuk selamat dari cengkraman bahaya ini hanya satu harapan yang tersisa yaitu pada bahtera keselamatan Ahlulbait As yang akan menyebabkan kecelakaan dan kebinasaan jika berpisah atau meninggalkannya.
3. Apa yang menjadi sebab keselamatan tidak semata mencinta atau menghormati mereka sebagaimana yang dikemukakan sebagian ulama Islam. Mereka berkata bahwa barang siapa yang mencintai Ahlulbait maka dia tergolong sebagai orang yang selamat. Tentu tidak demikian. Sebab keselamatan ini menuntut kita untuk mengikuti mereka sebagai titik seberang dengan “takhalluf” meninggalkan dari mereka sebagaimana yang dinyatakan dalam riwayat.
4. Adanya bahtera Ahlulbait hingga akhir kehidupan dunia adalah bersifat mesti dan harus karena hingga akhir kehidupan bahaya topan dan kesesatan penyimpangan senantiasa mengintai dan mengancam.
5. Berpegang teguh tanpa reserved kepada Ahlulbait sebagai lawan dari takhalluf (meninggalkan) mereka dapat menjadi bukti nyata akan adanya seorang Imam Maksum pada setiap zaman dari kalangan Ahlulbait As dimana dengan mengikuti mereka adalah penyebab keselamatan dan meninggalkan mereka adalah biang kebinasaan.
3. Hadis 12 Imam:
Hadis dua belas imam juga merupakan salah satu hadis yang masyhur dan terkenal. Hadis ini banyak dinukil pada kebanyakan kitab-kitab sahih Ahlusunah.
Dalam Sahih Muslim yang menukil dari Jabir bin Samrah dimana ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: La Yazalu al-Islam ‘azizan ilaa itsna ‘asyara khalifah- Tsumma qala kalimatun lam afham! Faqultu li abi ma qala? Faqala: Kulluhum min Quraisy!” Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: Islam akan senantiasa mulia selama 12 khalifah memerintah kaum Muslimin. Setelah itu beliau berkata-kata sesuatu yang aku tidak pahami. Karena itu aku bertanya kepada ayahku (yang hadir dan lebih dekat kepada Nabi ketika itu). Aku berkata: Apa yang disabdakan Nabi Saw? Ayahku berkata: Rasulullah Saw bersabda: Seluruhnya dari Quraisy.”[27]
Hadis ini juga disebutkan dalam Shahih Bukhari dengan redaksi yang serupa.[28] Dan juga pada Shahih Tirmidzi,[29] Shahih Abi Daud[30] dan pada Musnad Ahmad bin Hanbal disebutkan berapa kali[31] dan sebagianya.
Adapun dari sisi kandungan hadis redaksi-redaksi yang disebutkan dalam riwayat ini berbeda-beda. Pada sebagian riwayat disebutkan dengan redaksi “Itsna ‘Asyara Khalifah” (Dua Belas Khalifah) dan pada sebagian riwayat disebutkan dengan redaksi “Itsna ‘Asyara Amiran” (Dua Belas Amir) dan pada sebagian lainnya disebutkan wilayah dan pemerintahan dua belas orang. Tapi yang pasti dan jelas bahwa kesemua ini berkaitan dengan masalah wilâyah dan khilâfah.
Dari sisi lain, secara umum riwayat ini dinukil melalui ragam jalan dimana disebutkan misalnya “Kulluhum min Quraisy” (Seluruhnya dari Quraisy) dan sebagian riwayat disebutkan “Kulluhum min Bani Hasyim.” (Semuanya dari Bani Hasyim).[32]
Pada ghalibnya hadis-hadis ini disebutkan bahwa suara Nabi Saw pelan tatkala sampai pada akhir sabdanya dan kalimat di atas disampaikan secara perlahan. Hal ini menunjukkan bahwa ada orang-orang yang menentang terhadap adanya dua belas khalifah Nabi Saw dari kalangan Quraisy atau dari kalangan Bani Hasyim.
Bagaimanapun penafsiran hadis mulia ini yang disebutkan pada sumber-sumber utama dan seluruh ulama Islam mengakuinya adalah hal yang jelas bagi para pengikut Ahlulbait. Mereka memandang bahwa maksud dari dua belas khalifah tersebut tidak lain kecuali dua belas imam maksum. Akan tetapi pengikut mazhab lain tidak mampu menjelaskan secara jelas tentang dua belas khalifah ini. Jelas bahwa mereka tidak mampu menjelaskan dengan baik ihwal dua belas khalifah ini karena para khalifah pertama jumlahnya ada empat dan para khalifah Bani Umayyah sejumlah 14 orang dan khalifah Bani Abbasiyah sampai pada 37 orang. Tidak satu pun dari khalifah ini sesuai dan cocok dengan dua belas khalifah sebagaimana yang disebutkan dalam hadis. Dengan menggabung atau membagi jumlahnya masalah tidak akan tuntas kecuali mengapus sebagian dari mereka dan sebagian lainnya kita terima. Tentu saja hal ini tidak dapat diterima secara logis dan rasional.
Di samping itu, kita memiliki riwayat yang dinukil baik melalui Ahlusunnah juga melalui Syiah. Dan sebagian dari riwayat tersebut disebutkan nama dua belas imam – sebagaimana yang diyakini oleh pengikut mazhab Ahlulbait – dan sebagian lainnya nama Imam Pertama “Ali bin Abi Thalib” dan Imam Terakhir “Imam Mahdi Ajf” , pada sebagian riwayat lainnya disebutkan nama Imam Ketiga “Imam Husain.” Dalam riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Saw menunjuk kepada Imam Husain As dan bersabda: “Putraku ini adalah imam, putra imam, saudara imam dan ayah Sembilan imam.” [33]
Kendati kita banyak memiliki riwayat yang muktabar terkait dengan masalah imâmah para imam maksum namun begitu kita mencukupkannya dengan menukil beberapa riwayat yang disebutkan di atas.[34][]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat beberapa indeks di bawah ini:
· Keharusan Kemaksuman dan Jalan-jalan untuk mengidentifikasinya pada Imam As, no. 258 (Site: 2088)
· Kemaksuman para Nabi dalam Perspektif al-Qur’an, indeks no. 112 (Site:998) dan 129 (Site:1069)
· Kemaksuman Manusia-manusia Biasa, no. 104 (Site: 861)
· Pembatasan Para Maksum pada Empat Belas Orang, no. 178 (Site: 1395)
[1]. Silahkan lihat, Syarh Tajrid, hal. 271 (dengan adaptasi dan ringkasan), sesuai nukilan dari Payam-e Qur’an, jil. 9, hal. 37-38.
[2]. Ushul Kâfi, jil. 1, hal. 32, bab Sifat al-‘Ilm, hadis 2.
[3]. Nahj al-Balâgha, Hikmah no. 147
[4]. Nahj al-Balâgha, Khutbah no. 146.
[5]. Fakhrurazi, Tafsir al-Kabir, jil. 19, hal. 14.
[6]. Jalaluddin Suyuti, al-Durr al-Mantsur, jil. 4, hal. 45.
[7] . Fakhrurazi, Tafsir al-Kabir, jil. 16, hal. 221.
[8]. Ihqâq al-Haq, jil. 3, hal. 297.
[9]. Tafsir Nur al-Tsaqalaîn, jil. 2, hal. 280, hadis 392-393.
[10]. Yanâbi’ al-Mawaddah, hal. 114-116.
[11]. Syawâhid al-Tanzil, jil. 1, hal. 148, cetakan Beirut.
[12]. Shahih Muslim, jil. 4, hal. 1873.
[13]. Sunan Tirmidzi, jil. 5, hal. 662, hadis 3786.
[14]. Sunan Darami, jil. 2, hal. 432, Cetakan Dar al-Fikr, Beirut.
[15]. Musnad Ahmad, jil. 5, hal. 182, cetakan Dar al-Shadir, Beirut.
[16]. Khasâis Nasâi, hal. 2.
[17]. Mustadrak al-Shahihaîn, jil. 3, hal. 109.
[18]. Shawâiq al-Muhriqah, hal. 226, cetakan ‘Abdullatif, Mesir.
[19]. Usud al-Ghâbah fi Ma’rifati al-Shahâba, jil. 3, hal. 47, cetakan Mesir.
[20]. Ihyâ al-Mayyit, yang dicetak sebagai catatan pinggir al-Itthaf, hal. 116.
[21]. Sunan Baihaqî, jil. 10, hal. 114.
[22]. Al-Mu’jam al-Kabir, hal. 137.
[23]. Khulâsah ‘Abaqât al-Anwâr, jil. 2, hal. 105.
[24]. Khulâsah ‘Abaqât al-Anwâr, jil. 2, hal. 285.
[25]. Al-Mu’jam al-Kabir wa al-Mu’jam al-Shagir, hal. 78, cetakan Dehli. ‘Uyûn al-Akhbâr Dainawâri, jil. 1, hal. 212, cetakan Mesir. Mustadrak al-Shahihaîn, jil. 3, hal. 150. Mizân al-I’tidâl, jil. 1, hal. 224. Târikh al-Khulâfah, Suyuthi, hal 573.
[26]. Khulâsah ‘Abaqât al-Anwâr, jil. 2, hal. 126-195
[27]. Shahih Muslim, jil. 3, hal. 1453, cetakan Beirut, Dar al-Ihya al-Turats al-‘Arabi.
[28]. Shahih Bukhâri, jil. 3, juz 9, hal. 101.
[29]. Shahih Tirmidzi, jil. 4, hal. 501, cetakan Beirut, Dar al-Ihya al-Turats al-‘Arabi.
[30]. Shahih Abi Daud, jil. 4.
[31]. Silahkan lihat, Muntakhâb al-Âtsâr, hal. 12 dan Ihqâq al-Haq, jil. 13
[32]. Yanâbi’ al-Mawaddah, hal. 445, bab 77.
[33]. Kasyf al-Murâd, hal. 314, cetakan Mustafawi Qum.
[34]. Jawaban ini disuguhkan dengan menukil dari Tafsir Payâm-e Nur, jil. 9, (Imâmah wa Wilâyat dar Qurân Majid).
@Hamba Allah
Perlu diketahui bahwa kendati nama para Imam Maksum As tidak disebutkan secara jelas dan tegas dalam Al-Qur’an, namun dalam sabda-sabda Nabi Saw disebutkan secara jelas nama para Imam Maksum As, khususnya nama Imam Ali As yang merupakan proyeksi jelas dari hadis al Ghadir dan sebagai pengumuman resmi akan kekhalifahannya. Hadis al Ghadir, dari aspek sanadnya termasuk hadis yang mutawatir dan dari sisi dilâlah-nya (petunjuknya) merupakan bukti-bukti jelas akan imâmah Imam Ali As.
Terlepas dari hal ini, dalam Al-Qur’an juga terdapat ayat-ayat yang turun berkenaan dengan Imam Ali As dimana yang paling penting di antaranya adalah surat al-Maidah ayat 55 yang artinya:”Sesungguhnya wali kalian adalah hanya Allah Swt dan Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat serta memberikan zakat dalam keadaan ruku’”. Dalam kitab-kitab tafsir, sejarah dan riwayat-riwayat, baik Syi’ah ataupun Sunni, disebutkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa Imam Ali As yang sedang ruku’ sambil menginfakkan cincinnya dan bukti luarnya itu tidak ada yang lain kecuali Imam Ali As, oleh itu meskiAl-Qur’an tidak menyebutkan secara transparan nama Imam Ali As, namun ia telah menunjukkan hal itu secara jelas.
Namun bahwa mengapa nama Imam Ali itu tidak disebutkan secara terbuka? Minimal ada dua jawaban yang dapat disuguhkan di sini. Pertama: Secara mendasar, Al-Qur’an itu (diturunkan) untuk menjelaskan seluruh permasalahan itu secara universal, dengan bentuk kaidah dan pokok, bukan menjelaskan secara rinci dan detil seluruh permasalahan. Dan demikianlah yang berlaku pada beberapa teori-teori Al-Qur’an. Terkait hal ini, ketika Imam Shadiq As ditanya: Mengapa nama para Imam As tidak disebutkan secara terbuka dalam Al-Qur’an, beliau menjawab: sebagaimana halnya Allah Swt menurunkan perintah shalat, zakat, haji secara universal tanpa menjelaskan perinciannya, bahkan Rasulullah Saw sendiri yang menjelaskan dan menerangkan cara pelaksanaan dan rincian hukum-hukumnya. Demikian pula dengan masalah wilâyah, Rasulullah Saw sendiri yang menjelaskan serta memaparkan ihwal kekhalifahan Imam Ali As dan Ahlulbait As tanpa perlu disebutkan nama para Imam Maksum As satu per satu dalam Al-Qur’an. Kedua: Pada masalah seperti ini, karena diprediksikan banyak orang yang akan menentang, maka jalan terbaik dan maslahat adalah Al-Qur’an menjelaskan hal ini secara tidak transparan dan cukup dengan isyarah dan kinâyah (kiasan) saja, lantaran kemungkinan penentangan atas masalah keimamahan para Imam Maksum As bisa melebar sampai kepada menentang Al-Qur’an itu sendiri dan juga prinsip serta pokok agama, yang tentu saja hal ini akan sangat berbahaya bagi umat Islam secara keseluruhan; artinya betapa banyak orang-orang yang menentang wilâyah Imam Ali As yang karena penentangan itu –jika ada ayat yang secara transparan dan terbuka menjelaskan ihwal wilâyah beliau As– mereka berani dan nekad merubah dan membelokkan ataupun menghapus ayat tersebut, dan ketika itu nilai Islam sebagai agama penutup dan Al-Qur’an sebagai kitab suci yang abadi akan dicemooh dan dihina.
Selain itu, perlu dicamkan baik-baik bahwa kalau Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya: ”Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan kami pulalah yang akan menjaganya”. Salah satu cara menjaga Al-Qur’an adalah memberantas seluruh motivasi-motivasi untuk menentang dan distorsi tersebut secara alami. Dengan demikian dalam Al-Qur’an, pertama: tidak dijelaskan secara transparan ihwal wilâyat dan juga tidak disebutkan dengan jelas nama beliau (Ali As), kedua: ayat-ayat yang ada kaitannya dengan wilâyat Imam Ali As dan ayat tabligh yang merupakan ayat yang mengumumkan langsung secara resmi atas wilâyah dan khilâfah Imam Ali As dan juga ayat tathir yang mengandung kemaksuman (terhindar dari segala bentuk dosa) Ahlulbait As, yang terletak di antara ayat-ayat yang lahir tidak punya relasi sama sekali dengan bahasan yang ada, sehingga semaksimal mungkin dapat mengatasi adanya keinginan dan motivasi untuk mengganti dan merubah (Al-Qur’an) dan karena itu sepanjang sejarah, Al-Qur’an selalu terjaga dan terpelihara dari segala macam distorsi.
Wassalam
benar sekali artikel di atas, ternyata syi’ah kagak bisa dan tidak akan pernah bisa sekedar menunjukkan dalil imamah ‘ala syi’ah dalam Al-Qur’an tanpa muter-muter dulu. padahal soal ushuluddin yg lain seperti tauhid, kenabian, akhirat dll Al-Qur’an begitu jelas menjelaskannya dan berulang kali, demikian juga masalah sholat, zakat, puasa dan lain-lain… tapi dimana Imamah???
saya sarankan, tinggalkan saja keyakinan yang ga ada dalam Al-Qur’an
salam
@paiman
Coba anda baca dan pahami penjelasan saya tsb diatas bahawa mazhab Syiah merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits Rasulullah saw yg shahih dan mutawatir. Mungkin andalah yg merujuk kepada perawi hadits yg matruk.
@paiman
Silahkan anda kunjungi situs ini;
@shohib
ga usah ngeles kesana-sini, tunjukkan saja mana dalil Imamah model syi’ah dalam Al-Qur’an, yang mengatakan misalnya seperti kalimat “setelah Nabi ini akan ada 12 imam maksum yang akan memimpin dunia dan mesti dita’ati, kalau ga niscaya kalian termasuk kafir terhadap ayat-ayat Allah”
Inget Imamah adalah masalah ushuluddin menurut Syi’ah, sedangkan Allah begitu jelas, tegas dan berulangkali ketika menjelaskan tentang masalah ushuluddin di berbagai ayat spt tauhid, kenabian, akhirat dll.
contoh surat Al-Ikhlas, begitu jelas menjelaskan konsep tauhid Allah, belum lagi ayat2 lain yg begitu banyak.
kalau akal anda sehat dan tidak matruk, cobalah mulai sekarang review keyakinan anda, mudah2 an Allah membuka akal dan hati anda.
@paiman
Masalah Imamah sudah sangat jelas bahwa itu adalah ketetapan Allah dan Rasul-Nya berdasarkan nash yg shahih dan mutawatir. Bagaimana mau direview dgn pemahaman yg keliru dari orang2 matruk seperti kalian. :mrgreen;
@shohib
Ente ngetik :
Argumentasi model apa itu??? maksa banget gitu loh
apakah dalam hal wilayah Ali ra Allah tidak mempunyai kuasa apa-apa sehingga mengalah dengan tidak menjelaskan masalah tsb dengan jelas tetapi samar-samar dalam bentuk kiasan karena khawatir dampak penentangan thd keimamahan para imam maksum? sedangkan dengan kaum kafir, musyrik dan munafik Allah menurunkan ayat-ayat yang jelas dan tegas mengenai mereka???
Sungguh penghinaan dan buruk sangka terhadap Allah, rasul-Nya dan seluruh kaum muslimin pengikut Nabi Muhammad SAW saat itu.
Naudzubillah mindzalik..
@paiman
Jelas yg menentang Ahlulbait As berarti menentang perintah Allah dan Rasul-Nya dlm Al Qur’an dab Sunnah.
Wassalam
@shohib
Sepertinya, anda tidak menyimak komentar-komentar sebelumnya.
Antara Sunni dan Syiah tidak sepakat tentang hadits….. JELAS
Antara Sunni dan Syiah sepakat dengan Al-Qur’an …. Jelas, meskipun pengakuan dari Syiah masih dipertanyakan.
Jadi, kita harus menggunakan dalil yang disepakati, yaitu Al-Qur’an. Makanya, tunjukkan ayat Al-Qur’an yang menyatakan keimamahan, yang jumlahnya 12, dan dari keturunan Ali radhiyallahu ‘anhu.
==============================
Sunni cinta ahli bait, tanpa pilih-pilih dan tanpa berlebih-lebihan…
@Taufiq
Mazhab Syiah berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw, seperti : Ayat Tathir, Hadits Safinah, Hadits Tsaqalain, Hadits Ghadir Khum, Ayat Tabligh, Ayat Wilayah dsb. yg menjelaskan mengenai Imamah Ahlulbait As.
Wassalam
@shohib
Bagaimana derajat hadits yang anda cantumkan (maksud saya hadits dari kitab Syiah ya)? Shohih, dhoif, atau palsu dan jelaskan alasannya?
============================
Sunni cinta ahli bait, tanpa pilih-pilih dan tanpa berlebih-lebihan…
@Taufik
Di dalam Al-Qur’an, terdapat banyak ayat yang menjelaskan dan menetapkan imâmah Imam Ali As dan para imam lainnnya. Tentu saja petunjuk ayat-ayat ini[1] diperoleh dengan memperhatikan hadis-hadis mutawatir yang dinukil dari Rasulullah Saw terkait dengan sebab-sebab diwahyukan dan diturunkannya ayat-ayat tersebut. Hadis-hadis tersebut adalah hadis-hadis yang diterima oleh Sunni dan Syi’ah. Sebagai contoh, akan kami kemukakan di sini beberapa dari hadis tersebut.[2]
1. Ayat Tabligh: “Wahai rasul! sampaikanlah apa yang diturunkan padamu (secara utuh) dari Tuhan-mu (kepada manusia). Dan jika kamu tidak mengerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Qs. Al-Maidah [5]:67)[3]
Allah Swt menitahkan dengan tegas kepada Nabi Saw untuk menyampaikan risalahnya kepada masyarakat. Dan sesuai dengan riwayat, Nabi Saw setelah turunnya ayat ini, memilih Baginda Ali bin Abi Thalib As sebagai penggantinya (khalifah) di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum.[4]
Peristiwa Ghadir Khum pada risalah akhir usia Nabi Saw terjadi pada hajjatul wida’ dimana Nabi Saw ketika itu dengan sabdanya “Man kuntu mawla fahadza ‘Ali Mawlahu.” (Barang siapa yang menjadikan Aku sebagai pemimpinnya maka ‘Ali adalah pemimpinnya). Di tempat itu juga, Rasulullah Saw menjelaskan secara tegas imâmah Ali bin Abi Thalib dan menyampaikan risalahnya kepada manusia.
Peristiwa ini dinukil oleh sejumlah besar (110 orang) sahabat[5] Rasulullah Saw, demikian juga 84 orang thabi’in, dan 36 orang dari para ulama dan penyusun kitab. ‘Allamah Amini mengemukakan semua nukilan ini berupa bukti-bukti dan dalil-dalil kuat dari sumber-sumber Islam (Ahlusunnah dan Syi’ah) dalam kitabnya al-Ghadir.
2. Ayat Wilâyah: “Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam kondisi rukuk.” (Qs. Al-Maidah [5]:55)
Kebanyakan mufassirin (para penafsir) dan muhaddits (ahli hadis) berkata bahwa ayat ini diturunkan untuk Baginda Ali bin Abi Thalib As.
Suyuti, salah seorang ulama terkemuka Ahlusunnah dalam kitab tafsirnya “al-Durr al-Mantsur” terkait dengan ayat ini menukil dari Ibnu Abbas bahwa “Tatkala Ali bin Abi Thalib dalam kondisi ruku’ datanglah seorang peminta-minta dan Ali bin Abi Thalib menyerahkan cincinnya kepada orang tersebut sebagai sedekah. Rasulullah Saw bertanya kepada peminta-minta itu, “siapakah gerangan yang telah menyedekahkan cincinnya kepadamu? Si peminta-minta itu menunjuk Baginda Ali As dan berkata: Orang itulah yang telah memberikanku sedekah ketika ia dalam keadaan ruku.” Kemudian pada saat itulah ayat ini turun.[6]
Demikian juga dua orang ulama Ahlusunnah lainnya “Wahidi”[7] dan “Zamakhsyari”[8] menukil riwayat ini dalam kitab mereka dan menegaskan bahwa ayat “Innama waliyyukumuLlah…” diturunkan berkenaan dengan Baginda Ali As.
Fakhrurrazi dalam kitab Tafsir al-Kabir-nya menukil dari Abdullah bin Salam bahwa tatkala ayat ini turun, aku berkata kepada Rasulullah Saw bahwa aku melihat sendiri dengan mata kepalaku Ali As menyerahkan cincinnya kepada seorang yang membutuhkan ketika ia sedang ruku. Atas alasan inilah kami menerima wilâyah (imâmah)nya! Fakhrurazi demikian juga menukil riwayat lain seperti dengan riwayat ini yang dinukil dari Abu Dzar terkait dengan asbâb al-nuzul (sebab-sebab diturunkannya) ayat ini.[9]
Thabari juga dalam kitab Tafsir-nya mengemukakan banyak riwayat terkait dengan ayat ini dan menukil asbâb al-nuzul ayat ini dimana kebanyakan dari riwayat tersebut menegaskan bahwa: Ayat ini turun berkenaan dengan Baginda Ali As.[10]
‘Allamah Amini Ra dalam kitabnya al-Ghadir, menukil riwayat tentang turunnya ayat kepada Baginda Ali As ini dari -kurang-lebih- 20 kitab standar Ahlusunnah dengan menyebutkan bukti-bukti dan sumber-sumbernya.[11]
Pada ayat ini wilâyah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib sederetan dan sejajar dengan wilâyah Allah Swt dan Rasulullah Saw.
3. Ayat Ulul Amri: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan Ulul amri (para washi Rasulullah) di antara kamu.” (Qs. Al-Nisa [4]:59)
Disebutkan dari ulama[12] bahwa ayat Ulul Amri diturunkan berkenaan dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As.
Misalnya “Hakim Haskani” Hanafi Naisaburi (mufassir Ahlusunnah) terkait dengan ayat ini menukil lima hadis yang kesemuanya berujudul “Ulul Amri” yang tepat dan cocok dengan pribadi Ali bin Abi Thalib As.[13]
Dalam tafsir “al-Bahr al-Muhith” karya Abu Hayyan Andalusi Maghribi di antara ucapan-ucapan ihwal Ulul Amri yang dinukil dari Maqatil, Maimun, Kalbi (tiga penafsir) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Ulul Amri itu adalah para Imam Ahlulbait As.[14]
Abu Bakar bin Mukmin Syirazi salah seorang ulama Ahlusunnah dalam risalah “I’tiqâd” menukil dari Ibnu Abbas bahwa ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan Baginda Ali As.[15]
Dari sisi lain, pada ayat ini dengan struktur dan model tunggal dan tidak diulanginya redaksi “athi’û” (taatlah kalian), yang menandaskan ketaatan kepada Allah, Rasulullah dan Ulul Amri. Karena itu Ulul Amri adalah sosok yang maksum (kalau tidak demikian, maka ketaatan kepada Allah, Rasul dan Ulul Amri secara mutlak tidak memiliki makna). Sebagaimana Allah Swt dan Rasulullah Saw adalah maksum. Dan sesuai dengan apa yang disampaikan dalam riwayat, orang-orang maksum hanya terbatas pada para Imam Syi’ah.
Apa yang dijelaskan di atas hanyalah sebagian hadis dari kitab-kitab Ahlusunnah dan masih banyak hadis-hadis yang diterima oleh mereka terdapat pada kitab-kitab Syi’ah. Di sini kami hanya mengetengahkan tiga ayat yang merupakan ayat-ayat yang diturunkan berkenaan dengan wilâyah dan imâmah Ali bin Abi Thalib As. Ayat-ayat ini dan ayat-ayat lainnya yang patut mendapat perhatian terdapat pada kitab-kitab Ahlusunnah dimana untuk telaah lebih jauh kami persilahkan Anda merujuk kepada kitab-kitab standar dan muktabar Ahlusunnah.
Selain tiga ayat ini yang dijelaskan secara ringkas, terdapat ayat-ayat lain seperti “Yaa Ayyuhalladzina Amanu ittaqullah wa Kunuu ma’a al-shadiqin”[16] dan ayat al-Qurba “Qul laa as’alukum ‘alaihi ajran illa al-mawaddata fi al-qurba.”[17] yang juga secara langsung menengarai masalah wilâyah dan imâmah Baginda Ali bin Abi Thalib As pada riwayat-riwayat Rasulullah Saw yang dinukil pada kitab-kitab Ahlusunnah dan Syi’ah.
Di samping ayat-ayat ini, terdapat ayat-ayat lainnya yang mengungkap pelbagai keutamaan Baginda Ali As dan keunggulan Imam Ali As daripada sahabat-sahabat, penolong dan kerabat Rasulullah Saw. Dengan bersandar pada hukum akal yang memandang tercela “mendahulukan utama atas yang lebih utama” maka dapat diambil kesimpulan bahwa imâmah dan khilâfah Rasulullah Saw merupakan hak Baginda Ali As.[]
Untuk telaah lebih jauh, Anda dapat merujuk pada Tafsir Payam-e Nur, Ayatullah Makarim Syirazi, jilid 9, Imâmah wa Wilâyah dar Qur’an Majid, hal. 177 dan seterusnya.
[1]. Untuk mengetahui mengapa nama para Imam Maksum tidak disebutkan secara tegas dalam Al-Qur’an Anda kami persilahkan merujuk pada indeks: Nama Para Imam Maksum As dalam Al-Qur’an.
[2]. Untuk keterangan lebih jauh silahkan lihat indeks: Dalil-dalil Keyakinan terhadap Imamah dan Para Imam
[3]. Untuk keterangan lebih jauh silahkan lihat indeks: Ahlusunnah dan Ayat Tatbligh.
[4]. Ayatullah Makarim Syirazi, Payâm-e Qur’ân, jil. 9, Imâmah dar Qur’ân, hal. 182 dan seterusnya.
[5]. Abu Said al-Khudri, Zaid bin Arqam, Jabir bin Abdullah Anshari, Ibnu Abbas, Bara bin ‘Azib, Hudzaifah, Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud dan ‘Amir bin Laila adalah orang-orang di antara para sahabat ini.
[6]. Al-Durr al-Mantsur, jil. 2, hal. 293.
[7]. Al-Asbâb al-Nuzul, hal. 148.
[8]. Tafsir al-Kasysyaf, jil. 1, hal. 649.
[9]. Tafsir al-Kabir Fakhurrazi, jil. 12, hal. 26.
[10]. Tafsir Thabari, jil. 6, hal. 186.
[11]. Al-Ghadir, jil. 2, hal. 52-53.
[12]. Dalam Tafsir al-Burhan juga disebutkan puluhan riwayat dari sumber-sumber Ahlulbait As terkait ayat ini yang menyatakan: Ayat yang dimaksud turun berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib As atau beliau dan para Imam Ahlulbait As. Dan bahkan pada sebagian riwayat nama satu per satu imam disebutkan. Tafsir al-Burhan, jil. 1, hal. 381-387.
[13]. Syawâhid al-Tanzil, jil. 1, hal. 148-151.
[14]. Bahr al-Muhith, jil. 3, hal. 278.
[15]. Ihqâq al-Haq, jil. 3, hal. 425.
[16]. (Qs. Al-Taubah [9]:119) Yang dimaksud dengan Shadiqin pada ayat ini adalah Baginda Ali As dan Ahlulbait Nabi Saw. Yanâbi’ al-Mawaddah, hal. 115. Syawâhid al-Tanzil, jil. 1, hal. 262.
[17]. “Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku ini kecuali kecintaan kepada keluargaku.” (Qs. Al-Syura [42]:23)
@shohib
Sudah saya bilang, hadits saja tidak sepakat. Apalagi penafsiran ulama syiah. Apalagi penafsiran yang dipaksakan….
Kami, sunni, punya penafsiran yang lebih tepat tentang ayat itu.
Yang kami minta Ayat Al-Qur’an yang tegas… bukan penafsiran yang dipaksakan.
===================
Sunni cinta ahli bait, tanpa pilih-pilih dan tanpa berlebih-lebihan…
@Taufik
Sudah dijelaskan derajat hadits tsb diatas shahih dan mutawatir menurut ulama Sunni dan Syiah. Ya sudahlah klo anda tidak juga mengerti mah. Trims anda telah sharing dgn saya.
Wassalam
@Taufiq
Maaf saja kalau kami tidak percaya dengan penafsiran ulama Syi’ah terhadap ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Sunni.
Ayat Al-Qur’an, yang menurut Syi’ah termasuk referensi mereka, sering diartikan yang lain. Meskipun kalimat ayat tersebut sangat jelas buat orang awam sekalipun, dan tanpa penyisipan/penambahan arti. Contohnya ayat berikut:
Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. (At-Taubah:117).
Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (At-Taubah:100).
Kedua ayat itupun diartikan lain. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman bahwa Al-Qur’an diturunkan:
dengan bahasa Arab yang jelas. (asy-Syu’ara:195)
===================
Sunni cinta ahli bait, tanpa pilih-pilih dan tanpa berlebih-lebihan…
Maksud saya buat shohib
@Taufik
Ya sudah ngga apa tidak percaya sama penafsiran para Ulama Sunni dan Syiah mah, karena tidak ada paksaan dlm agama 🙂
@Taufik
Saya pikir justru penafsiran andalah yg terlalu dipaksakan, kerana tidak percaya kepada para Mufasirin dan Muhaditsin dari Sunni maupun Syiah 🙂
Wassalam
@ S hohib
Maaf baru s4 bls pembahasan argument anda akan saya jawab sedikit krn sebetulnya sdh banyak yang membantah sekadar mengingatkan saja yang sebagaian saya copas dari beberapa temen sunni yang telah membantahnya:
Dalil Hadist Safinah:
” Perumpamaan Ahl al-Baitku adalah seperti bahtera Nabi Nuh, sesiapa yang menaikinya akan selamat manakala sesiapa yang tertinggal daripadanya akan tenggelam.”
Tinjauan dari sisi sanad(perawinya)
Ini adalah sebuah hadis yang dha‘if. Ia memang diriwayatkan dalam banyak kitab Ahl al-Sunnah, namun yang diambil dalam menentukan sahih atau tidak sesebuah hadis ialah kedudukan sanad dan matannya, bukan jumlah rujukan. Perlu diingat:
Diterima atau tidak sesebuah hadis diukur berdasarkan kedudukan sanad dan matannya, bukan jumlah rujukan.
Oleh itu sekalipun Hadis al-Safinah kelihatan masyhur dicatat dalam banyak rujukan, dari sudut sanad ia hanya berpangkal kepada lima orang sahabat: ‘Abd Allah ibn ‘Abbas, ‘Abd Allah bin al-Zubair, Abu Zar, Abu Sa‘id al-Khudri dan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhum. Setiap dari jalan periwayatan yang berpangkal kepada para sahabat di atas memiliki kelemahan di dalamnya. Bentuk kelemahan nya pun berat sehingga jalan-jalan periwayatan tersebut tidak boleh digunakan untuk saling menguat antara satu sama lain. Metode pelemahannya silakan merujuk kepada Silsilah al-Ahadits al-Dha‘ifah wa al-Maudhu‘ah oleh al-Albani, hadis no: 4503. Sbg catatan hanya Imam Al-Hakim al-Naisaburi di dalam kitabnya al-Mustadrak yang menshohihkan hadist ini. Sila rujuk hadis no: 3312 (Kitab al-Tafsir, Bab tafsir surah Hud) dan hadis no: 4720 (Kitab Ma’refah al-Shahabah, Bab manaqib ahli keluarga Rasulullah). al-Hakim al-Naisaburi rahimahullah dikenali bersikap mudah-mudahan (tasahul) dalam mensahihkan sesuatu hadis sehingga pensahihannya tidak diterima oleh para ahli hadis selepasnya.
Tinjauan matannya (redaksional)
Hadis al-Safinah bukan saja lemah dari sudut sanad tetapi tertolak daripada sudut matan. Sebabnya:
1. Faktor penentu selamat atau tidak kaum Nabi Nuh ‘alahissalam bukanlah menaiki bahtera atau tertinggal daripadanya. Namun yang menjadi penentu ialah beriman atau tidak kepada risalah tauhid yang disampaikan oleh Nabi Nuh. Maka demikian juga bagi umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, faktor penentu selamat atau tidak bukanlah Ahl al-Bait Rasulullah tetapi beriman atau tidak kepada risalah Islam yang disampaikan oleh baginda.
2. Faktor penentu selamat atau tidak para penumpang bahtera Nabi Nuh ‘alahissalam bukanlah kuat atau lemah binaannya. Namun yang menjadi penentu ialah doa para penumpangnya serta pemeliharaan Allah ke atas mereka. Maka demikian juga bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, faktor penentu selamat atau tidak bukanlah membai‘ah Ahl al-Bait Rasulullah menjadi khalifah tetapi menjadikan Allah sumber utama keselamatan.
Dua faktor di atas akan dapat difahami dengan lebih baik apabila kita menghalusi ayat-ayat al-Qur’an tentang Nabi Nuh ‘alahissalam dan kaumnya:
Sebab Pertama:
Faktor penentu selamat atau tidak kaum Nabi Nuh ‘alahissalam bukanlah menaiki bahtera atau tertinggal daripadanya. Namun yang menjadi penentu ialah beriman atau tidak kepada risalah tauhid yang disampaikan oleh Nabi Nuh. Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala tentang risalah tauhid yang disampaikan oleh Nabi Nuh:
Sesungguhnya Kami telah mengutuskan Nabi Nuh kepada kaumnya, lalu berkatalah dia: “Wahai kaumku! Sembahlah kamu akan Allah, (sebenarnya) tidak ada Tuhan bagi kamu selain daripada-Nya. Sesungguhnya aku bimbang, kamu akan ditimpa azab hari yang besar (hari kiamat).” [al-A’raaf 7:59]
Kemudian Allah membedakan antara kaumnya yang selamat dan tidak selamat, iaitu mereka yang beriman kepada risalah tauhid yang disampaikan oleh Nabi Nuh dan mereka yang mendustakannya:
Mereka terus mendustakannya, lalu Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami karamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (matahatinya daripada melihat kebenaran). [al-A’raaf 7:64]
Maka demikian juga bagi umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, faktor penentu selamat atau tidak bukanlah Ahl al-Bait Rasulullah tetapi beriman atau tidak kepada risalah Islam yang disampaikan oleh baginda. Ini kerana mereka (Ahl al-Bait) juga terikat kepada mentaati risalah Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam sebuah hadis yang dikeluarkan oleh Muslim di dalam kitab Shahihnya – hadis no: 204 (Kitab al-Iman, Bab berkenaan firman Allah: “Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat”), apabila turunnya ayat:
Dan berilah peringatan serta amaran kepada kaum kerabatmu yang dekat. [al-Syu‘ara’ 26:214],
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyeru orang-orang Quraish dan memberi mereka peringatan yang bersifat umum. Kemudian baginda menyeru secara khusus dengan bersabda:
Wahai Bani Ka‘b bin Luay! Peliharalah diri kalian daripada api neraka. Wahai Bani Marrah bin Ka’b! Peliharalah diri kalian daripada api neraka. Wahai Bani ‘Abd Syams! Peliharalah diri kalian daripada api neraka.
Wahai Bani ‘Abd Manaf! Peliharalah diri kalian daripada api neraka. Wahai Bani Hasyim! Peliharalah diri kalian daripada api neraka. Wahai Bani ‘Abd al-Muthalib! Peliharalah diri kalian daripada api neraka. Wahai Fathimah! Peliharalah diri engkau daripada api neraka.
Sesungguhnya aku tidak memiliki apa-apa kekuasaan di hadapan Allah kecuali bahawa bagi kalian kekerabatan yang akan aku sambung dengan kalian.
Dalam hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahawa satu-satunya hubungan yang baginda miliki dengan Ahl al-Baitnya ialah hubungan kekerabatan. Selain itu baginda tidak memiliki apa-apa hubungan, apalagi hubungan yang dapat membela mereka pada Hari Akhirat kelak dari api neraka. Oleh itu hendaklah setiap Ahl al-Bait memelihara diri mereka daripada api neraka dengan mentaati perintah larangan Allah dan Rasul-Nya. Ini selari dengan firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala seterusnya:
Kemudian jika mereka berlaku ingkar kepadamu, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu lakukan!” [al-Syu‘ara’ 26:216]
Justeru ditekankan semula bahawa keselamatan seluruh umat Islam, termasuklah Ahl al-Bait Rasulullah, bergantung kepada ketaatan mereka kepada risalah Islam yang diturunkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ahl al-Bait tidak mampu menjamin keselamatan umat Islam krn mereka sendiri tidak terjamin kedudukannya di sisi Allah pada Hari Akhirat kelak.
Sebab Kedua:
Faktor penentu selamat atau tidak para penumpang bahtera Nabi Nuh ‘alahissalam bukanlah kuat atau lemah binaannya. Namun yang menjadi penentu ialah doa para penumpangnya serta pemeliharaan Allah ke atas mereka. Hal ini dikhabarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala:
Dan (ketika itu) berkatalah Nabi Nuh (kepada pengikut-pengikutnya yang beriman), naiklah kamu ke bahtera itu sambil berkata: “Dengan nama Allah bergerak lajunya dan berhentinya. Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.” [Hud 11:41]
Kemudian apabila engkau dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera itu maka hendaklah engkau (bersyukur kepada Allah dengan) berkata: “Segala puji tertentu bagi Allah yang telah menyelamatkan kami daripada orang-orang yang zalim.” Dan berdoalah dengan berkata: “Wahai Tuhanku, turunkanlah daku di tempat turun yang berkat, dan Engkau adalah sebaik-baik Pemberi tempat.” [al-Mu’minun 23:28-29]
Maka Kami selamatkan dia (Nabi Nuh) dan orang-orang yang bersama-sama dengannya dalam bahtera yang penuh sarat (dengan pelbagai makhluk). [al-Syu‘ara’ 26:119]
Maka demikian juga bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, faktor penentu selamat atau tidak bukanlah membai‘ah Ahl al-Bait Rasulullah menjadi khalifah tetapi menjadikan Allah sumber utama keselamatan. Ini kerana Ahl al-Bait sendiri tidak mampu menjaga keselamatan diri mereka sendiri, apalagi untuk menjaga keselamatan orang lain. Hanya Allah yang mampu menjaga keselamatan umat Islam secara mutlak. Oleh itu hendaklah Ahl al-Bait secara khusus dan umat Islam secara umum sentiasa meletakkan sumber keselamatan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala.
Hadis al-Safinah bukan saja tertolak apabila dibandingkan dengan asas-asas ajaran Islam, ia juga tertolak apabila dibanding dengan hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan keutamaan Ahl al-Bait.
Sebelum itu marilah kita mengkaji semula matan Hadis al-Safinah:
Perumpamaan Ahl al-Baitku adalah seperti bahtera Nabi Nuh, sesiapa yang menaikinya akan selamat manakala sesiapa yang tertinggal daripadanya akan tenggelam.
Berdasarkan matan di atas, bererti Ahl al-Bait Rasulullah ialah bahtera manakala umat Islam yang menaikinya menjadi para penumpangnya. Jika ini diukur berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, yang diberi kedudukan yang utama ialah para penumpang bahtera, bukan bahtera itu sendiri. Keutamaan tersebut wujud dalam dua bentuk:
Keutamaan Pertama:
Para penumpang bahtera dikurniakan nikmat yang melimpah-limpah oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala:
Mereka itulah sebahagian dari Nabi-nabi yang telah dikurniakan Allah nikmat yang melimpah-limpah kepada mereka dari keturunan Nabi Adam, dan dari keturunan orang-orang yang Kami bawa (dalam bahtera) bersama-sama Nabi Nuh, dan dari keturunan Nabi Ibrahim, dan (dari keturunan) Israil – dan mereka itu adalah dari orang-orang yang Kami beri hidayah petunjuk dan Kami pilih. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat (Allah) Ar-Rahman, mereka segera sujud serta menangis. [Maryam 19:58]
Keutamaan Kedua:
Para penumpang bahtera dijadikan khalifah:
Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan kami jadikan mereka pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu. [Yunus 10:73]
Kedua keutamaan di atas hanya diberikan kepada para penumpang bahtera, bukan bahtera itu sendiri. Justeru Hadis al-Safinah sebenarnya memberi keutamaan kepada umat Islam dan bukannya Ahl al-Bait. Tidak sekadar itu, Hadis al-Safinah juga memberikan kedudukan “khalifah” kepada umat Islam. Pada waktu yang sama Hadis al-Safinah menafikan keutamaan Ahl al-Bait, malah mengumpamakan mereka sebagai sebuah benda yang dijadikan kenderaan oleh orang lain. Pasti ini bukanlah satu keutamaan jika dinilai berdasarkan nas-nas yang sahih dan pemikiran yang sehat.
Sungguh mengherankan bagaimana anda memakai Hadis al-Safinah sebagai hujah kekhalifahan Ahl al-Bait padahal hadis itu sendiri menafikan kekhalifahan tersebut, malah menyerahkannya kepada umat Islam. Semua ini tidak lain menunjukkan bahawa anda tidak memiliki dalil apa-apa yang jitu untuk dijadikan argumen. Lalu anda mencari apa sembarang dalil yang dapat anda permainkan untuk ditakwil dan dipaksa-paksa maksudnya ke arah mendukung mazhab anda. Sedangkan apabila dianalisa betul-betul dalil tersebut, ternyata ia tidak mendukung mazhab anda malah bertindak meruntuhkannya.
Kesimpulan:
• Hadis al-Safinah adalah lemah dari sudut sanad dan tertolak dari sudut matan.
• Seandainya ia sahih, Hadis al-Safinah sebenarnya menghina Ahl al-Bait dan menafikan mereka daripada kedudukan khalifah.
HADIS 12 KHALIFAH
hadis berikut dari Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anh:
Aku bersama ayahku masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka aku mendengar baginda bersabda: “Sesungguhnya urusan ini tidak akan selesai sehingga berlaku kepada mereka dua belas orang khalifah.”
(Jabir meneruskan): Kemudian baginda berbicara dengan suara yang perlahan kepada aku (sehingga aku tidak dapat mendengarnya). Aku bertanya kepada ayahku: “Apa yang (Rasulullah) perkatakan?” Ayahku menjawab: “Semua mereka daripada bangsa Quraisy.”
DARJAT HADIS 12 KHALIFAH.
Terdapat tiga darjat hadis yang perlu diterangkan dalam perbahasan ini:
Hadis Pertama:
Pertama adalah hadis yang membentuk asas penghujahan, iaitu:
Aku bersama ayahku masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka aku mendengar baginda bersabda: “Sesungguhnya urusan ini tidak akan selesai sehingga berlaku kepada mereka dua belas orang khalifah.”
(Jabir meneruskan): Kemudian baginda berbicara dengan suara yang perlahan kepada aku (sehingga aku tidak dapat mendengarnya). Aku bertanya kepada ayahku: “Apa yang (Rasulullah) perkatakan?” Ayahku menjawab: “Semua mereka daripada bangsa Quraisy.”
Hadis ini dikeluarkan oleh Muslim di dalam kitab Shahihnya – hadis no: 1821 (Kitab kepimpinan, Bab manusia berbai‘ah kepada Quraisy……)
Perhatian rosul menggunakan kata “khalifah” dalam hadis di atas. Dan jika anda kemudian memperhatikan Hadis al-Ghadir , Rasulullah shallallahu ‘alaihi menggunakan istilah Mawla atau Wali. Maka jelas hadist tersebut tidak terkait dengan hadis Ghadir baik ditinjau dari sisi bahasa maupun sisi penunjukannya…kalo memang khalifah dikait dengan Imam Ali pada Ghadir maka beliau akan mengatakan secara shorih dengan lafal “khalifah” bukan Mawla pada hadis Ghadir…apalagi kemudian anda kemudian lgs berspekulasi dengan akan adanya penentangan…jelas tidak logis dan menuduh rosul penakut scr tdk langsung
Hadis Kedua:
Lafadz Hadis 12 Khalifah diakhiri dengan lafazd “Semua mereka daripada bangsa Quraisy.” Adapun lafaz pengakhirnya: “Semua mereka daripada Bani Hasyim”, riwayatnya yang kuketahui tidak menggunakan lafadz 12 Khalifah:
Sesungguhnya Allah telah memilih (suku) Kinanah daripada anak keturunan Ismail dan telah memilih (bangsa) Quraisy daripada (suku) Kinanah, dan telah memilih daripada (bangsa) Quraisy Bani Hasyim dan telah memilih aku daripada Bani Hasyim.
Hadis ini dikeluarkan oleh Muslim di dalam kitab Shahihnya – hadis no: 2276 (Kitab keutamaan, Bab keutamaan nasab Nabi). Terdapat dua perkara yang perlu diluruskan berdasarkan hadis di atas:
1. Dalam hadis di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyatakan Allah telah memilih Ahl al-Bait daripada Bani Hasyim, sebaliknya telah memilih dirinya daripada Bani Hasyim.
2. Hadis di atas tidak berperanan mengkhususkan 12 Khalifah daripada bangsa Quraisy kepada Bani Hasyim sahaja. Ia hanya menerangkan keutamaan Bani Hasyim dan bukan kelayakan mereka secara automatis menjadi khalifah.
Hadis Ketiga:
Dalam sumber-sumber Syi‘ah, mereka mengemukakan beberapa hadis yang kononnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyebut satu persatu nama-nama para khalifah yang dua belas tersebut, terdiri daripada ‘Ali dan sebelas anak keturunannya. Malang sekali hadis-hadis tersebut dikemukakan tanpa sanad, jauh sekali daripada dinilai darjat kekuatannya. Oleh itu dalam perbahasan ini kita tidak akan memberi perhatian kepada hadis-hadis tersebut kerana tanpa sanad, ia tidak memiliki apa-apa nilai.
Jika dikaji semua hadis yang menerangkan tentang kepimpinan 12 khalifah berdasarkan sanad yang sahih, tidak satu pun yang menerangkan nama para khalifah tersebut maupun masa dan pusat pemerintahan mereka. Baginda hanya menerangkan bahawa mereka terdiri daripada bangsa Quraisy. Ini memang merupakan ciri-ciri hadis motivasi
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membiarkan hadis tersebut dalam bentuk yang terbuka, tidaklah perlu untuk kita menutupnya dengan menetapkan nama-nama khalifah tertentu. Apa yang boleh dilakukan ialah sekadar meramalkan siapakah khalifah yang menepati ciri-ciri hadis, seperti Abu Bakar, ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman ibn ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali, Muawiyah bin Abi Sufyan, Harun al-Rasyid, ‘Umar bin “Abd al-‘Aziz dan sebagainya, radhiallahu ‘anhum.
Merujuk kepada hujah Syi‘ah yang menganggap 12 khalifah yang dimaksudkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ialah ‘Ali dan kesemua 11 anak keturunannya radhiallahu ‘anhum, ia adalah hujah yang salah lagi jauh dari sasaran. Sebabnya, di kalangan ‘Ali dan kesemua 11 anak keturunannya, hanya ‘Ali dan anaknya Hasan bin ‘Ali yang pernah menjadi khalifah umat Islam. Sisa yang sembilan daripada keturunan ‘Ali yang dinobatkan sebagai khalifah oleh Syi‘ah tidak pernah menjadi khalifah, justeru tidak pernah memimpin sehingga membawa kemenangan kepada agama dan umat. Oleh itu mereka tidak masuk ke dalam Hadis 12 Khalifah ini.
Kesimpulan mudah kepada para pembaca:
• Hadis 12 Khalifah bertujuan memberi motivasi kepada para khalifah umat Islam untuk memimpin secara benar, adil dan terbaik demi membawa kemenangan kepada agama dan umat.
• Dakwaan Syi‘ah bahawa Hadis 12 Khalifah diwakili oleh ‘Ali dan sebelas keturunannya adalah tidak benar krn mereka tidak pernah menjadi khalifah umat Islam. Yang benar hanya ‘Ali dan anaknya Hasan bin ‘Ali yang menepati ciri-ciri Hadis 12 Khalifah.
KEDUA : HADIS AL-TSAQALAIN
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
Ketahuilah wahai manusia, sesungguhnya aku hanyalah manusia. Aku merasakan bahawa utusan Tuhan-Ku (Malaikat Maut) akan datang dan aku akan memenuhinya.
Aku tinggalkan kepada kalian al-Tsaqalain (dua perkara yang penting): Yang pertama adalah Kitab Allah (al-Qur’an), di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka berpegang teguhlah dengan Kitab Allah.
(Perawi – Zaid bin Arqam – menjelaskan bahawa Rasulullah menekankan kepada berpegang dengan Kitab Allah. Kemudian Rasulullah menyambung):
(Yang kedua ialah) Dan Ahl al-Baitku, aku peringatkan kalian kepada Allah tentang Ahl al-Baitku. Aku peringatkan kalian kepada Allah tentang Ahl al-Baitku. Aku peringatkan kalian kepada Allah tentang Ahl al-Baitku.
Hadis ini digelar Hadis al-Tsaqalain berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Aku tinggalkan kalian al-Tsaqalain……” Hampir senada dengan hadis ini ialah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
Wahai manusia! Sesungguhnya aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya, nescaya kalian tidak akan sesat: Kitab Allah (al-Qur’an) dan keluarga Ahl al-Baitku.
Perbahasan kita dimulakan dengan darjat Hadis al-Tsaqalain diikuti dengan maksudnya.
DARJAT HADIS AL-TSAQALAIN:
Hadis pertama:
Hadis: “Aku tinggalkan kepada kalian al-Tsaqalain…” dikeluarkan oleh Muslim di dalam kitab Shahihnya – hadis no: 2408 (Kitab keutamaan para sahabat, Bab keutamaan ‘Ali bin Abi Thalib). Selain itu ia juga diriwayatkan oleh beberapa sahabat yang lain dan dikeluarkan melalui beberapa jalan periwayatan yang lain sebagaimana yang tercatat di dalam kitab-kitab hadis.
Hadis kedua:
Hadis: “Sesungguhnya aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya, nescaya kalian tidak akan sesat……” dikeluarkan oleh al-Tirmizi di dalam kitab Sunannya – hadis no: 3874 (Kitab Manaqib, Bab Manaqib Ahl al-Bait). Ia juga dikeluarkan oleh Ahmad, al-Thabarani dan al-Thahawi dan dinilai sahih oleh al-Albani di dalam Silsilah al-Ahadits al-Shahihah – hadis no: 1761.
Sepertimana Hadis al-Ghadir, para pengkaji Syi‘ah merumuskan bahawa Hadis al-Tsaqalain juga diriwayatkan oleh puluhan orang sahabat dan tercatat dalam ratusan kitab rujukan Ahl al-Sunnah. Rumusan ini diterima dengan baik kerana para sahabat dan para tokoh Ahl al-Sunnah tersebut tidak sekadar meriwayat dan mencatat Hadis al-Tsaqalain akan tetapi mereka juga memahaminya dengan pemahaman yang benar. Bagaimanakah pemahaman tersebut? MAKSUD HADIS AL-TSAQALAIN
Hadis al-Tsaqalain adalah antara sebaik-baik dalil daripada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menafikan jabatan khalifah Ahl al-Bait radhiallahu ‘anhum, sekali gus membatalkan doktrin Syi‘ah terhadap mereka. Lebih dari itu Hadis al-Tsaqalain juga membedakan siapakah yang berada di jalan yang benar dan siapakah yang berada di jalan yang sesat. Penjelasannya adalah seperti berikut:
Pertama: Hadis al-Tsaqalain menafikan Rasulullah pernah mewasiatkan jabatan khalifah kepada Ahl al-Bait baginda.
.
Dalam Hadis al-Tsaqalain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggalkan kepada umat Islam dua pesanan yang penting:
1. Hendaklah berpegang teguh kepada al-Qur’an.
2. Diperingatkan tentang Ahl al-Bait radhiallahu ‘anhum.
Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan umat Islam tentang Ahl al-Bait baginda, ia bererti Rasulullah meletakkan tanggungjawab menjaga hal ehwal Ahl al-Bait baginda di atas bahu umat Islam. Tidak sebaliknya, kerana seandainya Rasulullah mengkehendaki Ahl al-Bait baginda bertanggungjawab ke atas hal ehwal umat Islam, nescaya baginda akan memperingatkan mereka (Ahl al-Bait) tentang tanggungjawab tersebut. Rasulullah akan berpesan, umpama: “Aku peringatkan kalian wahai Ahl al-Baitku kepada Allah tentang umat Islam ini……” .
Dengan meletakkan tanggungjawab hal ehwal Ahl al-Bait di atas bahu umat Islam, ia membuktikan bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sejak awal mengetahui bahawa jabatan khalifah akan dipegang oleh umat Islam secara umum, tidak khusus kepada Ahl al-Bait baginda. Bukti ini membatalkan dakwaan kononnya Rasulullah mengkehendaki atau pernah mewasiatkan jabatan khalifah kepada Ahl al-Baitnya. Bahkan ia menjadi bukti bahawa baginda sejak asal sememangnya tidak pernah mengkehendaki atau mewasiatkan sedemikian.
Tanggungjawab apakah yang perlu dipimpin dan dijaga oleh umat Islam ke atas Ahl al-Bait Rasulullah? Tanggungjawab tersebut ialah sikap kita kepada mereka. Hendaklah kita mencintai mereka, berselawat kepada mereka dalam solat, menghormati mereka dan berinteraksi dengan mereka secara sopan. Tidak boleh membenci, menghina dan bersikap biadap terhadap mereka. Selain itu hendaklah diperhatikan hal ehwal harian mereka dan menghulurkan bantuan di mana boleh. Dalam bab ini terdapat banyak hadis yang sahih daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tanggungjawab ini bukanlah sesuatu yang dipandang ringan oleh Ahl al-Sunnah. Ia sebenarnya merupakan salah satu daripada iktikad Ahl al-Sunnah sebagaimana terang al-Ajjuri rahimahullah
Setiap mukmin dan mukminah wajib mencintai Ahl al-Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni Bani Hasyim. Mereka adalah ‘Ali bin Abi Thalib serta anak keturunannya, Fathimah radhiallahu ‘anha serta anak keturunannya, al-Hasan dan al-Husain serta anak keturunan mereka, Hamzah serta anak keturunannya dan ‘Abbas serta anak keturunannya.
Merekalah Ahl al-Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Setiap muslim wajib mencintai mereka, memuliakan mereka, menghormati mereka, bermuamalah dengan baik kepada mereka, sabar terhadap mereka serta mendoakan kebaikan untuk mereka.
Tanggungjawab menjaga urusan Ahl al-Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kekal sehingga Hari Kiamat, atau yang lebih tepat sehingga ke pengumpulan di Telaga Haudh. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian apa yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, pasti kalian tidak akan sesat sesudahku. Salah satu daripadanya lebih agung daripada yang lain:
(Yang pertama) ialah Kitab Allah (al-Qur’an) yang merupakan tali penghubung daripada langit ke bumi dan (yang kedua) ialah ‘Itrahku, iaitu Ahl al-Baitku. (Mereka Ahl al-Baitku) tidak akan berpisah (daripada aku) sehingga berjumpa kembali dengan aku di Telaga Haudh. Maka perhatikanlah bagaimana sikap kalian terhadap kedua-duanya sepeninggalan aku.
Hadis di atas dikeluarkan oleh al-Tirmizi dan dinilai sahih oleh al-Albani. Rujuk Shahih Sunan al-Tirmizi – hadis no: 3788 (Kitab Manaqib, Bab Manaqib Ahl al-Bait).
Terdapat dua pengajaran penting daripada hadis di atas, Pertama adalah sikap kita dalam mencintai, berselawat, menghormati dan bersopan terhadap Ahl al-Bait, juga dalam menjaga hal ehwal mereka. Ia berkekalan sehingga ke Hari Akhirat. Oleh kerana itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan: “(Mereka Ahl al-Baitku) tidak akan berpisah (daripada aku) sehingga berjumpa kembali dengan aku di Telaga Haudh. Maka perhatikanlah bagaimana sikap kalian terhadap kedua-duanya sepeninggalan aku.”
Kedua, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan umat Islam agar memerhatikan sikap mereka terhadap Ahl al-Bait baginda sehingga ke Hari Akhirat, bererti baginda sememangnya tidak pernah mengkehendaki atau mewasiatkan Ahl al-Baitnya menjadi khalifah umat Islam sehingga ke Hari Akhirat. Dalam hal ini terdapat pengecualian dalam dua suasana:
1. Jika umat Islam sendiri yang melantik dan membai‘ah salah seorang Ahl al-Bait menjadi pemimpin mereka, maka ia dibolehkan. Ini kerana perlantikan tersebut bukan di atas kehendak Rasulullah tetapi di atas kehendak umat Islam sendiri. Sebagai contoh ialah perlantikan ‘Ali sebagai khalifah setelah terbunuhnya Utsman radhiallahu ‘anh.
Kedua: Hadis al-Tsaqalain membatalkan doktrin Syi‘ah terhadap Ahl al-Bait.
Peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Hadis al-Tsaqalain adalah supaya kita umat Islam menjaga sikap terhadap Ahl al-Bait baginda. Hendaklah kita mencintai, berselawat, menghormati dan bersopan terhadap Ahl al-Bait radhiallahu ‘anhum dalam batasan yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih. Sikap ini jangan dikurang dan jangan dilebih-lebihkan. Jangan dikurangi bermaksud jangan membenci, menghina dan bersikap biadap terhadap mereka. Jangan dilebih-lebihkan bermaksud jangan menetapkan bagi mereka sesuatu yang bukan merupakan hak mereka, jangan mengidolakan mereka dan apa-apa lain yang bersifat ghuluw (berlebih-lebihan, melampaui batas).
Kembali kepada peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Hadis al-Tsaqalain tentang Ahl al-Bait baginda, ia tidak sekadar ditujukan kepada mereka yang mengurangi hak Ahl al-Bait tetapi juga kepada mereka yang melebih-lebihkan hak Ahl al-Bait.
Di sini tidak ada aliran yang berlebih-lebihan dalam menetapkan hak-hak ke atas Ahl al-Bait Rasulullah melainkan aliran Syi‘ah. Mereka menetapkan hak khalifah, hak menggubah hukum syari’at, sifat maksum dan pelbagai lagi kepada Ahl al-Bait radhiallahu ‘anhum. Semua ini adalah hak-hak yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah. Sikap sebeginilah yang diperingatkan oleh Rasulullah dalam Hadis al-Tsaqalain.
Oleh itu yang benar-benar diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Hadis al-Tsaqalain dan yang benar-benar akan dipersoalkan di Telaga Haudh ialah aliran Syi‘ah itu sendiri.
Ketiga: Hadis al-Tsaqalain membedakan siapakah yang berada di jalan yang benar dan siapakah yang berada di jalan yang sesat.
Hadis al-Tsaqalain juga berperanan membedakan siapakah yang berada di jalan yang benar dan siapakah yang berada di jalan yang sesat. Benar atau sesat bergantung kepada pegangan seseorang kepada Ahl al-Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini berdasarkan sabda baginda yang bermaksud:
Wahai manusia! Sesungguhnya aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya, nescaya kalian tidak akan sesat: Kitab Allah (al-Qur’an) dan keluarga Ahl al-Baitku.
Berpegang kepada Ahl al-Bait Rasulullah bermaksud berpegang kepada hak-hak mereka, yakni mencintai mereka, berselawat, menghormati dan bersopan santun terhadap mereka. Barangsiapa yang berpegang kepada hak-hak Ahl al-Bait radhiallahu ‘anhum, nescaya dia berada di jalan yang benar.
Tidak berpegang kepada Ahl al-Bait Rasulullah bermaksud menyalahi hak-hak mereka, sama ada dengan menguranginya atau melebih-lebihkannya sepertimana yang disebut beberapa perenggan di atas. Barangsiapa yang mengurangi atau melebih-lebihkan hak Ahl al-Bait, bererti dia tidak berpegang kepada Ahl al-Bait dan ini boleh membawanya ke jalan yang sesat.
Di sini perlu dibetulkan tiga takwilan Syi‘ah yang bersifat berlebih-lebihan terhadap hadis di atas:
1. Berpegang kepada Ahl al-Bait Rasulullah tidak bermaksud menjadikan mereka sumber syari‘at Islam krn mereka sendiri tunduk kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman:
Dan tidaklah harus bagi orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan keputusan mengenai sesuatu perkara (tidaklah harus mereka) mempunyai hak memilih ketetapan sendiri mengenai urusan mereka. Dan sesiapa yang tidak taat kepada hukum Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah sesat dengan kesesatan yang jelas nyata. [al-Ahzab 33:36]
Ahl al-Bait termasuk dalam keumuman perintah “orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan” dalam ayat di atas. Mereka tidak memiliki wewenang untuk memilih atau membuat hukum tersendiri melainkan taat kepada ketetapan Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (al-Sunnah).
2. Berpegang kepada Ahl al-Bait Rasulullah tidak bermaksud menjadikan mereka khalifah yang memimpin urusan umat Islam. Ini kerana syarat menjadi khalifah dalam Islam bukanlah keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi orang yang beriman dan beramal salih. Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:
Allah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal salih dari kalangan kamu (wahai umat Muhammad) bahawa Dia akan menjadikan mereka khalifah-khalifah yang memegang kuasa pemerintahan di bumi. [al-Nur 24:55]
3. Berpegang kepada Ahl al-Bait Rasulullah tidak bermaksud menjadikan mereka maksum. Ini jelas terbukti dalam riwayat-riwayat sejarah yang sahih di mana para Ahl al-Bait juga membuat kesalahan dalam tindak tanduk mereka.
Demikianlah penjelasan sebenar terhadap Hadis al-Tsaqalain. Ringkasnya terdapat tiga pengajaran penting dalam Hadis al-Tsaqalain:
1. Hadis al-Tsaqalain menafikan Rasulullah mengkehendaki atau pernah mewasiatkan jawatan khalifah kepada Ahl al-Bait baginda.
2. Hadis al-Tsaqalain membatalkan doktrin Syi‘ah terhadap Ahl al-Bait.
3. Hadis al-Tsaqalain membezakan siapakah yang berada di jalan yang benar dan siapakah yang berada di jalan yang sesat.
Sebelum mengakhiri perbahasan tentang Hadis al-Tsaqalain, perhatikan penjelasan dibawah ini sehingga subhat-subhat bs ditepis
Kemusykilan pertama:
Mengapa dalam Hadis al-Tsaqalain, peringatan tentang Ahl al-Bait Rasulullah disebut secara bergandingan dengan al-Qur’an? Tidakkah pergandingan ini memiliki sesuatu nilai yang penting?
Penjelasan:
Penggandengan ini memang penting, iaitu supaya sikap kita terhadap Ahl al-Bait diukur berdasarkan petunjuk al-Qur’an. Tidak sekadar itu, ia juga diukur berdasarkan petunjuk al-Sunnah kerana di dalam al-Qur’an Allah Subhanahu wa Ta‘ala telah berfirman:
Dan apa jua perintah yang dibawa oleh Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) kepada kamu maka terimalah serta amalkan, dan apa jua yang dilarang-Nya kamu melakukannya maka patuhilah larangan-Nya. [al-Hasyr 59:07]
Oleh itu apabila kita diperingatkan untuk menjaga hak-hak Ahl al-Bait, hak-hak tersebut perlu diukur mengikut petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah. Ukuran tersebut hendaklah berdasarkan pemahaman yang benar tanpa ditakwil atau dipaksa tafsirannya. Kemudian kefahaman tersebut hendaklah dipegang secara adil tanpa dikurangi atau dilebih-lebihkan.
Kemusykilan kedua:
Kenapakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengulangi Hadis al-Tsaqalain beberapa kali di tempat-tempat yang berlainan? Bukankah ini menunjukkan ada sesuatu yang penting yang ingin baginda sampaikan, tidak sekadar untuk menjaga hak-hak Ahl al-Bait sahaja?
Penjelasan:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengulangi Hadis al-Tsaqlain beberapa kali kerana baginda menyadari bahwa setelah kewafatannya nanti, akan ada aliran yang memperalatkan Ahl al-Bait baginda semata-mata untuk membenarkan doktrin mereka. Aliran ini benar-benar menyesatkan umat baginda daripada jalan yang benar, oleh itulah baginda mengulangi Hadis al-Tsaqalain beberapa kali mengingatkan besarnya musibah yang bakal menimpa umatnya secara umum dan Ahl al-Baitnya secara khusus. Ini tidak lain disebabkan oleh sikap baginda yang amat mengambil berat tentang umatnya, sama ada pada zaman hidup baginda atau selepas itu:
Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari golongan kamu sendiri (iaitu Nabi Muhammad s.a.w), yang menjadi sangat berat kepadanya sebarang kesusahan yang ditanggung oleh kamu, yang sangat inginkan kebaikan bagi kamu, (dan) dia pula menumpahkan perasaan belas serta kasih sayangnya kepada orang-orang yang beriman. [al-Taubah 9:128]
Kebimbangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ternyata benar. Sama-sama kita dapat perhatikan bagaimana aliran Syi‘ah memperalatkan Ahl al-Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam demi membenarkan doktrin mereka. Tidak sekadar itu, dalam rangka membenarkan doktrin tersebut Syi‘ah juga memperalatkan al-Qur’an dan al-Sunnah dengan takwilan dan tafsiran yang batil.
Kesimpulan mudah kepada para pembaca:
• Hadis al-Tsaqalain adalah antara sebaik-baik dalil daripada sunnah Rasulullah yang menafikan jawatan khalifah daripada Ahl al-Bait, sekali gus memba-talkan doktrin Syi‘ah terhadap mereka. Hadis al-Tsaqalain juga membe-zakan siapakah yang berada di jalan yang benar dan siapakah yang berada di jalan yang sesat.
• Apabila Rasulullah memper-ingatkan umat Islam tentang Ahl al-Bait baginda, ia bererti Rasulullah meletakkan tanggungjawab menjaga hal ehwal Ahl al-Bait baginda di atas bahu umat Islam. Ini membuktikan bahawa Rasulullah sejak awal menge-tahui bahawa jabatan khalifah akan dipegang oleh umat Islam secara umum, tidak khusus kepada Ahl al-Bait baginda.
• Hadis al-Tsaqalain mengingatkan umat Islam untuk menjaga hak-hak Ahl al-Bait tanpa mengurangi hak-hak tersebut mahupun melebih-lebihkannya.
• Apabila Rasulullah mengingatkan umat Islam tentang Ahl al-Baitnya, ia menunjukkan Ahl al-Bait baginda berada di bawah kepimpinan dan penjagaan umat Islam, bukan sebaliknya.
• Syi‘ah telah menetapkan hak khalifah, hak mengubah hukum syari’at, sifat maksum dan pelbagai lagi kepada Ahl al-Bait. Semua ini adalah hak-hak yang tidak ditetap-kan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah. Sikap beginilah yang diperingat-kan oleh Rasulullah dalam Hadis al-Tsaqalain.
kemudian tentang Ayat Ar-Ra`d (13): 7
{وَيَقُولُ الّذِينَ كَفَرُواْ لَوْلآ أُنزِلَ عَلَيْهِ آيَةٌ مّن رّبّهِ إِنّمَآ أَنتَ مُنذِرٌ وَلِكُلّ قَوْمٍ هَادٍ }
(Sesungguhnya engkau [hanyalah] adalah seorang pemberi peringatan dan pada setiap kaum terdapat seorang yang memberikan petunjuk, Qs. Al-Ra’ad [13]:7)
Metode nukilan anda terhadap buku-buku ulama sunni adalah spt metode menukil ayat wailul lil musholin…berhenti di sini.. kemudian tidak menyambungnya shg mewakili apa yang dikehendaki oleh yang dinukil, lebih parah lagi kemudian anda membabi buta dengan ayat yang umum tersebut untuk hal-hal khusus tanpa meliat sisi kekuatan riwayatnya…silakan perhatikan satu contoh saja Imam At thabary dalam tafsir menyebut ada beberapa pendapat ttg kata-kata وَلِكُلّ قَوْمٍ هَادٍ:
ولكلّ قوم إمام يأتـمون به وهاد يتقدّمهم, فـيهديهم إما إلـى خير وإما إلـى شرّ
Dan setiap kaum mempunyai imam yang diikuti dan pemberi petunjuk yang dijadi teladan kemudian menunjuki mereka baik dalam kebaikan maupun kepada kejelekan
Kemudian beliau menyebutkan berbagai pendapat ttg وَلِكُلّ قَوْمٍ هَادٍ: tafsir tersebut yang scr ringkas saya sebutkan:
1. Yang dimaksud adalah rosulullah shg tafsirnya beliau adalah pemberi peringatan dan pemberi petunjuk.
2. Allah shg tafsir: Muhammad pemberi peringatan dan Allah yang memberi petunjuk
3. Nabi shg tafsirnya:setiap kaum mempunyai nabi
4. Dan setiap kaum mempunyai pemimpin
5. Ali bin Abi Tholib sbg mana anda sebut
6. Dan setiap kaum mempunyai dai
Kemudian beliau menyimpulkan:
وقد بـيّنت معنى الهداية, وأنه الإمام الـمتبع الذي يقدمُ القوم. فإذا كان ذلك كذلك, فجائز أن يكون ذلك هو الله الذي يهدي خـلقه وَيَتْبِعُ خـلقه هداه ويأتـمون بأمره ونهيه, وجائز أن يكون نبـيّ الله الذي تأتـمّ به أمته, وجائز أن يكون إماما من الأئمة يؤتـمّ به ويتبع مِنهاجَه وطريقته أصحابه, وجائز أن يكون داعيا من الدّعاة إلـى خير أو شرّ.
وإذا كان ذلك كذلك, فلا قول أولـى فـي ذلك بـالصواب من أن يقال كما قال جلّ ثناؤه: إن مـحمدا هو الـمنذر مَن أُرْسِل إلـيه بـالإنذار, وإن لكلّ قوم هاديا يهديهم فـيتبعونه ويأتـمون
Dan sungguh telah jelas makna hidayah, bhwsanya ia adalah Imam yang diikuti yang memimpin suatu kaum, jika demikian maka boleh jadi pemimipin tadi adalah Allah yang memberi memberi petunjuk kpd mahlukNnya, dan mahluknya mengikuti petunjuk tersebut dengan mengikuti perintah dan laranganNya, bisa juga dia adalah nabi Allah yang diikuti kaumnya, bisa juga imam dari imam-imam yang diikuti manhaj dan thoriqohnya, bisa jadi seorang dai dari para dai yang menyeru kpd kebaikan maupun kejelekan, Jika demikian keadaannya maka tidak ada pendapat yang paling benar tentang firman Allah tersebut…..Silahkan pembaca menyimpulkan sendiri apakah memang ayat tersebut terkhusus penunjukan terhadap Imam Ali sbg imam yang maksum yang ditujuk scr nash…
Coba anda taddaburi Alqur`an ayat-ayat tegas menjelaskan hal-hal yang secara prinsip sbg contoh Tentang keutamaan sahabat disebut langsung (inipun temen2 syiah sering mengingkari keutamaan mereka):
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” [QS. Al-Fath : 26].
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [QS. At-Taubah : 100]
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka” [QS. At-Taubah : 117].
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ * وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَئِكَ مِنْكُمْ وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [QS. Al-Anfaal : 74-75].
Keutamaan para nabi juga disebutkan bahkan nama-namanya, lantas suatu hal yang umat sangat memerlukan menurut keyakinan anda kok tidak disebut ini membuktikan anda mengada-ada…
@Hamba Allah
Coba anda kunjungi dulu situs ini, nanti saya tanggapi penjelasan anda tsb diatas;
@Hamba Allah
Dan kunjungi juga situs ini;
http://musadiqmarhaban.wordpress.com/
Dari pemaparan para rafidhi di atas, ternyata memang tak ada Imamah ala Syiah di dalam Al Qur’an.
Yang ada hanya logika berikut retorika kata yang paksakan untuk menafsirkan Al Qur’an 🙂
@eM
Coba anda kunjungi situs ini:
Anda mungkin yg retorika kata yang paksakan untuk menafsirkan Al Qur’an mah
Kurasa blog ini penafsirannya terlalu dipaksakan, seperti contoh mengambil riwayat dari perawi hadits yg matruk. Menuduh ajah kpd orang lain dipaksakan, padahal Alfanarku yg dipaksakan mah 😆
@ Shohib
Sekali lagi aku sangat heran sama metodologi anda dalam menukil dan berargumen – kalo boleh meminjam istilahnya ust Abdul Hayyi` – adalah metode fawailul lil musholin – ..mencomot2 perkataan sepotong sehingga kesannya bertentangan bahkan mengeksploitasi hadits-hadits yang lemah …saya kasih contoh satu lagi saja:
-. Anda menafsirkan Al-Maidah :55 “ Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” Sebagai penunjukan wilayah imam Ali kemudian anda mengeksploitasi buku Addurul Mantsur, riwayat tersebut ada juga di lubabun nuqul karya imam as suyuthi tapi sayang riwayat tersebut lemah sisi kelemahannya akan saya copas dari tulisannya ust abul jauzaa:
Mari kita lihat apa yang tercantum dalam kitab Lubaabun-Nuquul-nya As-Suyuthi rahimahullah :
قوله تعالى : (إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ).
٤٠٩ – أخرجه الطبراني في ((الأوسط)) بسندٍ فيه مجاهيل عن عمَّار بن ياسر قال : وقف بعلي بن طالب سائل، وهو راكع في صلاة تطوُّع فنزع ختمه فأعطاه السائل، فنزلت : (إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ) الآية وله شاهد.
٤١٠ – قال عبد الرزاق : حدَّثنا عبد الوهاب بن مجاهد، عن أبيه، عن ابن عباس في قوله : (إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ) الآية، قال : نزلت في عليِّ بن أَبي طالب.
٤١١ – وروى ابن مردويه من وجهٍ آخر عن ابن عباس مثله.
٤١٢ – وأخرج أيضًا عن علي مثله.
٤١٣ – وأخرج ابن جرير عن مجاهد.
٤١٤ – وابن أبي حاتم عن سلمة بن كهيل مثله.
فهذه شواهد يقوِّي بعضها بعضًا.
“Firman-Nya : “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”.
409 – Dikeluarkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dengan sanad yang padanya terdapat orang yang majhul, dari ‘Ammaar bin Yaasir ia berkata : “Seorang peminta-minta berdiri di dekat ‘Ali bin Abi Thaalib dimana ia sedang dalam keadaan rukuk pada satu shalat sunnah (tathawwu’). Kemudian ia melepaskan cincinnya yang lalu diberikan kepada peminta-minta tersebut. Maka, turunlah ayat : “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah dan Rasul-Nya” – al-ayat – dan riwayat itu mempunyai syaahid :
410 – ‘Abdurrazzaq berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab bin Mujaahid, dari bapaknya, dari Ibnu ‘Abbas mengenai firman Allah ta’ala : “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah dan Rasul-Nya”, maka Ibnu ‘Abbas berkata : “Diturunkan pada ‘Ali”.
411 – Ibnu Marduyah meriwayatkan dari jalan yang lain dari Ibnu ‘Abbas seperti di atas.
412 – Dan ia meriwayatkan juga dari ‘Ali seperti di atas.
413 – Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dari Mujaahid.
414 – Dan Ibnu Abi Haatim dari Salmah bin Kahiil seperti di atas.
(As-Suyuthi berkata) : “Beberapa syawaahid ini saling menguatkan satu dengan yang lainnya”.
[Lubaabun-Nuquul fii Asbaabin-Nuzuul hal. 97-98].
Perkataan As-Suyuthi rahimahullah ini layak diberikan kritikan. Berikut sedikit perinciannya :
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath no. 6232 dari hadits ‘Ammaar (bin Yaasir). Padanya terdapat perawi yang bernama Khaalid bin Yaziid Al-‘Umariy, seorang pendusta (kadzdzaab). Ibnu Ma’in berkata : “Pendusta”. Abu Haatim berkata : “Pendusta, ditinggalkan haditsnya” (kadzdzaab, dzaahibul-hadiits)” [Al-Jarh wat-Ta’diil 3/360 dan Al-Miizaan 1/646 – melalui perantaraan Majma’ul-Bahrain 1/279 & 6/20 oleh Al-Haitsami]. Ishaq bin ‘Abdillah bin Muhammad bin ‘Aliy bin Husain, tidak ditemukan biografinya. Adapun Al-Hasan bin Zaid bin Al-Hasan bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Abu Muhammad, ia seorang yang jujur, namun kadang melakukan kesalahan (shaduuq, yahimu) – sebagaimana dalam At-Taqrib.
Dikeluarkan oleh Al-Wahidiy (no. 397), dari Muhammad bin Marwaan, dari Muhammad bin Saaib, dari Abu Shaalih, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfu’. Namun sanadnya tidak shahih sama sekali. Muhammad bin Marwaan, ia adalah As-Suddiy Ash-Shaghiir, seorang yang ditinggalkan haditsnya, dituduh berdusta (matruk, muttaham bil-kidzb). Ibnu Saaib, ia adalah Al-Kalbiy, seorang telah ditetapkan pada dirinya dengan kedustaan. Silakan merujuk pada Al-Miizaan. Adapun Abu Shaalih, namanya adalah Baadzaam; seorang perawi lemah. Ibnu Hibban mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar hadits dari Ibnu ‘Abbas [lihat selengkapnya pada Tahdziibut-Tahdziib, 1/416-417].
Dikeluarkan juga oleh ‘Abdurrazzaq sebagaimana dalam Tafsir Ibnu Katsiir (5/266), dari Ibnu ‘Abbas. Ibnu Katsir berkata : “Dalam sanadnya terdapat ‘Abdul-Wahhaab bin Mujaahid, seorang yang tidak boleh berhujjah dengannya”. Adz-Dzahabi berkata dalam Al-Miizaan (2/682) : “Yahya berkata : ‘Tidak ditulis haditsnya’. Ahmad berkata : ‘Tidak ada apa-apanya (laisa bi-syai’)’. Ibnu ‘Adiy berkata : ‘Secara umum apa-apa yang diriwayatkannya tidak ada yang mengikutinya (mutaba’ah)’. Al-Bukhari berkata : ‘Mereka (para ulama) berkata : Tidak pernah mendengar hadits dari bapaknya’ [selesai].
Dikeluarkan juga oleh Ath-Thabari (no. 12214) dari Mujaahid secara mursal, dalam sanadnya terdapat Ghaalib bin ‘Ubaidillah, seorang yang matruk (ditinggalkan haditsnya). Al-Bukhari berkata : “Munkarul-hadiits, mendengar hadits dari Mujaahid” [At-Taariikh Al-Kabiir 7/101 – melalui Tafsir Ibni Katsiir 5/265. Lihat juga catatan kaki Asy-Syaikh Ahmad Syaakir atas atsar ini dalam tafsir Ath-Thabariy 10/426]. Ia (Ath-Thabari – no. 12211) juga meriwayatkan dari jalan Abu Ja’far, namun riwayat ini mu’dlal.
Ibnu Katsir berkata (5/264-265I) : “Ibnu Marduyah (Mardawaih) meriwayatkan hadits ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu, ‘Ammaar bin Yaasir, dan Abu Raafi’; namun tidaklah shahih semua riwayat tersebut sama sekali karena kedla’ifan sanadnya dan kemajhulan para perawinya”.
Dikeluarkan juga oleh Ibnu Abi Haatim dari Salmah bin Kahiil (hal. 1162 no. 6551). Namun sanad hadits ini munqathi’ antara Salmah bin Kahiil dengan ‘Ali bin Abi Thaalib. Selain itu, Salmah ini – walaupun seorang yang tsiqah – mempunyai sedikit kecondongan terhadap Syi’ah [lihat At-Tahdziib 4/156-157].
Jika kita lihat keseluruhan sanadnya, maka tampak bagi kita bahwa riwayat tersebut berkualitas lemah, sangat lemah, bahkan palsu. Lantas, bagaimana bisa As-Suyuthi rahimahullah mengatakan bahwa hadits tersebut saling menguatkan ? Bahkan banyaknya jalur periwayatan sebagaimana terlihat di atas malah semakin menunjukkan ketidakshahihan riwayat, sebagaimana dikatakan oleh pentakhrij/penta’liq kitab Lubaabun-Nuquul (hal. 98).
Coba anda renungkan dan simak metode Al qur`an dalam membahas suatu perkara:
1.Bagaimana kejelasan bahasa Al-qur`an berbicara tentang istri-istri nabi dan kemudian ayat tersebut disambung dengan panggilan ahlal bait tapi aneh kemudian dengan ayat ini syiah mengeluarkan mereka dari lingkaran Ahlul Bait??????,cukup saya copas posting di blog ini juga: Mari kita buka kembali surat Al-Ahzab dari ayat 28 sampai dengan ayat 34 yang sangat jelas sekali sedang berbicara mengenai istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahkan ayat-ayat setelahnya sampai dengan ayat 59 (ayat hijab) pun masih membahas mengenai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam beserta ahlul bait (rumah tangga) beliau :
28. Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.
29. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.
30. Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan di lipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.
31. Dan barang siapa diantara kamu sekalian (isteri-isteri nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscata Kami memberikan kepadanya pahala
32. Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik,
33. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait (penghuni rumah) dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
34. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.
Perhatikanlah wahai para pembaca sekalian, jangankan orang yang berilmu, orang yang awwam pun dengan mudah bisa menarik kesimpulan bahwa ayat-ayat di atas berkenaan dengan istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada bayangan keraguan sedikitpun. Pada ayat-ayat di atas Allah memberi peringatan, kabar gembira, perintah dan larangan kepada istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang tujuan akhirnya adalah dengan mereka mengikuti perintah dan larangan-Nya tersebut, Allah bermaksud untuk menghilangkan dosa ahlul bait Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu istri-istri beliau) dan membersihkan mereka sebersih-bersihnya. Ini adalah alur yang begitu jelas dari apa yang difirmankan Allah dalam ayat-ayat di atas.
Perhatikan bagian ayat yang saya garisbawahi di atas yang menunjukkan hubungan diantara ayat-ayat tersebut, bahwa ayat-ayat sebelumnya termasuk ayat Thathhir (pembersihan) adalah turun di rumah istri-istri Nabi, sehingga terlihat dengan jelas mereka adalah penghuni rumah (ahlul bait) Nabi yang dimaksud dalam ayat-ayat tersebut. Dan Allah dalam ayat 34 mengingatkannya kembali kepada mereka, sehingga kesimpulannya adalah tidak ada pemisahan atau pemenggalan dalam ayat-ayat yang berurutan tersebut.
(-) Lantas bagaimana dengan kalimat yuthahhirakum dan ‘ankum pada ayat di atas yang menunjukkan jama’ mudzakkar (laki-laki) ?
(+) Maka dijawab : Sesungguhnya perkara yang disebutkan di awal ayat tertuju kepada para wanita secara khusus. Kemudian datang miim jama’ karena masuknya laki-laki bersama para wanita tersebut, yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagai sayyidul-bait. Apabila laki-laki masuk pada kumpulan wanita, maka nun niswah berubah (kalah) menjadi miim jama’ (mudzakkar). Hal ini adalah sesuatu hal yang ma’lum (diketahui) dalam ilmu nahwu.
إذا اجتمع المذكر مع المؤنث غلب المذكر
“Apabila mudzakkar (laki-laki) dan muannats (wanita) berkumpul (dalam satu kalimat), maka dimenangkan mudzakkar”.
Istri-istri Nabi-lah yang dimaksud ahlul bait dalam ayat tersebut sesuai dengan konteks dan urutan ayat tanpa ada keraguan sedikitpun padanya.
Definisi Ahlul Bait :
Mari kita ingatkan kembali definisi dari ahlul bait:
Ahl : Keluarga yang termasuk di dalamnya adalah istri, anak-anak, saudara laki-laki, saudara perempuan, kerabat yang lain, kadang-kadang digunakan untuk merujuk sesama anggota kabilah.
Bait : Rumah, tempat tinggal
Ahlul Bait : orang-orang yang terkait dengan seorang lelaki, yang mereka tinggal di rumahnya, khususnya adalah istri-istrinya dan anak-anak yang belum menikah yang mereka tinggal dalam satu atap dengan-nya yang disediakan olehnya.
Kenyataannya, definisi utama dari ahlul bait adalah istri-istri dari seorang lelaki; dalam budaya Arab, dianggap hal yang tidak sopan memanggil istri-istri seorang lelaki dengan nama mereka yang sebenarnya, oleh sebab itu, orang akan menyebut istri seorang lelaki dengan hanya menyebut “ahlul bait-nya”
Penggunaan umum istilah “Ahlul Bait”
Al-Qur’an adalah kitab berbahasa Arab yang diturunkan kepada orang-orang yang berbahasa Arab. Kita akan salah menafsirkan Al-Qur’an jika kita berusaha untuk memahami kata-kata dengan cara yang tidak (dan tidak dapat) dipahami oleh orang yang dituju kitab ini yaitu bangsa Arab. Hari ini, jika kita meminta teman Arab kita untuk datang ke rumah kita bersama Ahlul Bait-nya, standarnya adalah bahwa ia akan datang ke rumah kita bersama istri dan anak-anak yang tinggal di rumahnya. Ia mungkin membawa anak-anak yang belum menikah atau mungkin tidak. Ia bahkan mungkin membawa teman, jika teman-nya tersebut adalah penghuni permanen rumahnya. Tapi yang utama, seorang Arab akan memahami bahwa ia harus membawa istri-istrinya, karena ini adalah inti dan definisi utama dari istilah Ahlul Bait.
Seorang lelaki Arab akan terkejut jika mengetahui bahwa kita mengartikan ahlul bait itu adalah saudara sepupunya, atau anak-anaknya yang sudah menikah, atau cucu-cucunya, yang mereka semua tinggal di rumah yang lain. Ia akan lebih sangat terkejut lagi mengetahui kita menganggap istri-istrinya yang tinggal di rumahnya adalah bukan ahlul bait-nya. Hal ini karena bagi orang Arab, kata ahlul bait (yang secara harfiah berarti mereka yang tinggal di rumah) termasuk adalah istri (istri-istri) dari seseorang. Hal ini sama sekali tidak berbeda pada masa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini pun sama di semua negara-negara Arab. Hal yang sangat menarik, bahkan di Iran (sebagai negara yang didominasi oleh Syi’ah) orang menggunakan kata ahlul bait untuk merujuk kepada istri serta anak-anak dari seseorang. Jika kita melihat kitab-kitab popular dalam bahasa Arab, kita akan menemukan dalam definisi ahlul bait, istri diikutsertakan.
Logis dan masuk akal
Ahlul bait bermakna keluarga dari seorang lelaki yang tinggal di rumah-nya. Jika kita bertanya kepada seorang Syi’ah, siapa saja bagian dari keluarganya, ia pasti akan memasukkan ibunya atau pasangannya dalam jawabannya. Ibu dan istri adalah pondasi dasar dari sebuah keluarga. Jika kita bertanya kepada pihak ketiga yang tidak bias, siapakah keluarga Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, nama-nama yang mereka akan sebutkan pertama kali adalah istri-istri beliau.
Al-Qur’an menyebut istri-istri Nabi sebagai ahlul bait.
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS 33:32-33)
Pada kenyataannya tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang mengidentifikasi Ali (رضى الله عنه), Fatima (رضى الله عنها), Hasan (رضى الله عنه), atau Hussain (رضى الله عنه) sebagai Ahlul Bait. Tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang telah sempurna menyebutkan 12 Imam dari Syiah, apalagi menyebut mereka Ahlul Bait. Istilah “Ahlul Bait” telah digunakan dua kali dalam Al-Quran, dan dua kali digunakan untuk merujuk kepada istri-istri. Dan istilah yang serupa, Ahlul Bait digunakan dalam Al-Qur’an untuk merujuk kepada istri Imran (Ibu Musa ‘alaihis salam). Namun, tidak sekalipun kata ahlul bait yang digunakan dalam Al-Qur’an merujuk kepada Ali (رضى الله عنه), Fatima (رضى الله عنها), Hasan (رضى الله عنه), atau Hussain (رضى الله عنه). Dan tidak pernah ada ayat dalam Al-Qur’an yang mengatakan “Hai saudara sepupu Nabi” melainkan yang ada “Hai istri-istri Nabi”. Jika mengikuti ahlul bait adalah dasar kepercayaan sebagaimana Syi’ah klaim, lalu mengapa Al-Qur’an tidak pernah sekalipun menyebutkan Ali sebagai ahlul bait? Jika kita meminta saudara Syi’ah untuk menampilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan ahlul bait, mereka akan kecewa karena menemukan ayat-ayat tersebut semuanya berhubungan dengan istri-istri Nabi.
72. Isterinya berkata: “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.”
73. Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”
(QS Huud : 72-73)
Pada ayat di atas, istri Nabi Ibrahim ‘alaihi salam bertanya kepada malaikat bagaimana dia bisa mempunyai seorang anak, dan malaikat menjawabnya dan dengan memanggilnya beserta Nabi Ibrahim sebagai ahlul bait. Kata ganti kolektif digunakan untuk merujuk kepada Nabi Ibrahim dan istrinya, tidak ada orang lain di ruangan itu melainkan hanya mereka berdua.
Nah sekarang anggap kita bicara tdk pakai hadist krn masing-masing kita tidak menerima baik secara defenisi maupun metodologi, maka kami masih ada harapan kita bisa menggunakan bahasa-bahasa Al-qur`an yang gamblang – kalo anda masih berkeyakinan bahwa Al-Qur`an kita sama – spt di atas…
2. Bahasa Al-qur`an yang gamblang mengeluarkan anak dan istri dari lingkaran ahli orang yang dipilih Allah :
Allah mengeluarkan istri Luth as dari lingkaran keluarganya
‘”Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan)” .(QS Al A`raf:83)
“Para utusan (malaikat) berkata: “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?.”(QS Huud :81)
“Maka Kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan) (An Naml :57)”.
Dan ketika Allah mengeluarkan anak Nuh as dari lingkaran ahlinyapun dipertegas QS Huud:
42. Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.”
43. Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata: “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.
44. Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi[721], dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim .”
45. Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.”
46. Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.”
47. Nuh berkata: Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.”
Kalaulah klaim dan asumsi syiah benar harusnya ada ayat yang jelas sebagaimana saya sebut mengeluarkan istri dan anak nabi dari lingkaran ahlul bait
3.Coba simak juga betapa Al-Qur`an berkata dengan jelas bagaimana kita bersikap dengan istri-istri nabi:
“ Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)”(QS Al Ahzab:6)
Bagaimana kita bersikap terhadap ibu kita anda tentu lebih paham
4.Coba simak betapa Al-Qur`an berkata dengan gamblang tentang sifat-sifat sahabat rosul
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” [QS. Al-Fath : 26].
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [QS. At-Taubah : 100].
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka” [QS. At-Taubah : 117].
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ * وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَئِكَ مِنْكُمْ وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [QS. Al-Anfaal : 74-75].
Lantas orang-orang yang telah dapat rekomendasi dari yang Maha mengetahui jadi murtad tinggal bilangan jari????? Atau mungkin memang anda mempunyai keyakinan (akidah) Allah telah keliru memberi rekomendasi.!!!!!
5. Coba simak betapa Al-Qur`an berkata dengan gamblang tentang ishmah rosululla dalam surat An Najm :
1. “Demi bintang ketika terbenam”.
2.” kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru”.
3.” dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya”.
4. “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
5.” yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.”
Bagaimana dengan ishmah Imam yang 12 dimana ayatnya?????????? Atau jangan-jangan terinspirasi oleh ajaran kristen yang diajarkan oleh 12 apostel (murid-murid Yesus) yang mereka itu dinaungi oleh roh kudus (maksum) shg ajarannya sedikit sekali perkataan yesus kebanyakan perkataan dan pendapat mereka…begitu jg syiah lebih banyak ajarannya disandarkan terhadap perkataan Imam-Imam yang maksum dan sedikit sekali dari rosulullah.
6. Coba simak betapa Al-Qur`an dengan gamblang menyebutkan tentang pewarisan Sulaiman dari Dawud as dalam An Naml 15-16
“Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hambaNya yang beriman”. Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”.
Lantas mana ayat tentang pewarisan imamah???????? Atau memang terinspirasi oleh Ibnu Saba` yang mengadopsi keyakinan yahudi tentang pewarisan Yusa` bin Nun dari Nabi Musa as
Sekali lagi saya tegaskan memang posting ini masih relevan tidak ayat Al-Qur`an yang secara gamblang menjelaskan tentang teori imamah 12 yang maksum……atau memang keyakinan tentang Al Qur`an yang dipegang sudah tidak sama….
@ Shohib
Sebetulnya masih banyak argumen2 anda yang kalo boleh saya simpulkan :sering mencomot2 perkataan secara sepotong, mengeksploitasi riwayat yg tidak kuat,memlintir makna yang sebenarnya berapologi dengan asumsi2, …..dan pada kesempatan ini aku lagi terserang mual (muales he3) habis argumen anda tidak lebih sama dengan Almusawi dalam muraja`atnya, atau posting2x temen2 syiah pada umumnya banyak main kata2…..
@ pembaca
kalau anda dah terlanjur baca postingx temen2 syiah ttg mut`ah ada konklusi yang aneh dan berbau propaganda:
” Nikah daim adalah nikah yang sewaktu-waktu bisa diputus, Nikah Mut`ah adalah nikah sementara yang bisa disambung terus menerus”
Main kata-kata begitulah kebiasaan yang menyedihkan
@Hamba Allah
Islam sebagai agama yang paling sempurna mensyariatkan dan melegalkan pernikahan mut’ah (lantaran pelbagai problematika yang boleh jadi dihadapi oleh sebagian orang dalam melaksanakan pernikahan tetap) yang dapat digunakan oleh kaum Muslimin sebagai remedi (obat sementara).Hal ini merupakan salah satu nilai positif dan progressif agama Islam yang di samping menjawab kecendrungan libido seksual dalam bentuk pernikahan tetap (daim), juga menawarkan solusi berupa pernikahan temporal dan legal.[1] Al-Qur’an terkait dengan pernikahan ini berkata: “Dan (diharamkan juga kamu menikahi) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak wanita yang kamu miliki, (karena budak sama dengan wanita yang telah diceraikan). (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain wanita-wanita yang telah disebutkan itu, (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi, bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikahi secara mut’ah di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah dosa bagimu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Nisa [4]:24)
Ayat ini tergolong ayat-ayat Madani yang diwahyukan kepada Rasulullah Saw pada awal-awal hijrah di Madinah. Pada masa itu, kaum Muslimin memiliki pernikahan temporal akan tetapi sebagian mereka tidak menyerahkan mahar pernikahan tersebut. Setelah ayat ini diturunkan yang memerintakan mereka untuk menyerahkan mahar setelah mendapatkan manfaat dari pernikahan ini.[2]
Wassalam
@Shohib
Saya tidak sedang berdebat masalah mut`ah krn itu OOT dari posting ini dan sudah banyak yang bantah, akan tetapi saya sebut di atas sebagai salah satu contoh bahwa temen2 syiah suka berapologi dengan permainan kata2….salah satu contohwaktu posting tttg nikah mut`ah membuat konklusi dengan propaganda: ” Nikah daim adalah nikah yang sewaktu-waktu bisa diputus, Nikah Mut`ah adalah nikah sementara yang bisa disambung terus menerus”
Coba anda liat konklusi tersebut terlepas dari perdebatan boleh tidaknya mut`ah….bukankah mut`ah putusnya ikatan sudah hal yang pasti kemudian tidak didukung oleh aturan2 yang meminimalkan penyelewengan ibarat suatu SOP sangat tidak safety…adapun nikah daim boleh putus (cerai) akan tetapi ada perangkat-perangkat yang meminimalkan kearah sana….silahkan anda membandingkan dan merenungi dengan hati yang jernih…..ingat ini just sample kebiasaan berapologi dengan permainan kata itu stressing saya
Sohib Says: (Link menuju “Pengeran Bekas”
@Sohib
As usual, Tipikal Rafidhi itu ambil yang cocok dan buang yang lain 😀
@Hamba Allah
hehehe… saya dianggap konklusi dengan propaganda.
@eM
dan anda menuduh saya Tipikal Rafidhi.
@all
Penjelasan saya mengenai Mut’ah tsb adlh yg disepakati oleh mazhab Sunni maupun Syiah. Yg menjadi polemik adlh klo Sunni berpendapat bahwa ayat mengenai Mut’ah sudah dimasukh oleh ayat yg lain, sedangkan Syiah berpendapat bahwa ayat tsb belum dimasukh dan berlaku hingga kini.
Wassalam
@ Shohib
Jangan OOT.. sudah kubilang aku lagi tidak mau membahas ttg mut`ah dan harusnya anda fokus sama topik diposting ini dan komen2 yang anda lontarkan…adapun saya singgung masalah mut`ah cuma sebagai salah satu contoh tipikal anda dan temen2 syiah suka berapologi dengan mempermainkan kata-kata…adapun permainan kata2 anda banyak di komen anda baik di topik posting ataupun yang lain….
@Hamba Allah
Kan ente dulu yg menyinggung masalah diposting ini
shohib
@Hamba Allah
Kan ente dulu yg menyinggung masalah Mut’ah diposting ini
————————————————————-
Imamah Tidak Terdapat Dalam Al-Qur’an
Setiap dasar keyakinan dalam Islam disebutkan dalam al-Qur’an berkali-kali. Tauhid dan konsep Allah (عز و جل) telah disebutkan dua ribu kali, konsep tentang Nabi dan Rasul (Risalah dan Nubuwwah) disebutkan berulang kali, bahkan, kata “Rasul” dan “Nabi” disebutkan lebih dari empat ratus kali. Semua hal mengenai Ushuluddin (dasar agama) selain Imamah, disebutkan ratusan kali dalam al-Qur’an. Namun Al-Qur’an benar-benar diam mengenai masalah Imamah.
————————————————————–
Menurut saya, Sidi Abu Shalih lah yang berbohong dalam masalah ini.
Kata-kata imam, aimmah dan kata-kata yang terkait dengannya dapat saya temukan dalam Al Qur’an pada 12 ayat di beberapa surat.
Ini membuktikan bahwa pada periode kenabian dan kerasulan (sejak Adam AS s/d Muhammad SAW), Allah SWT juga menunjuk/menjadikan Pemimpin-Pemimpin pada eranya masing-masing.
Nabi/Rasul sebagai jabatan khusus dari Allah SWT, begitu juga jabatan tertentu yakni dengan istilah IMAM. Bahkan maqom IMAMAH, menurut Al Qur’an dianugerahkan Allah SWT. setelah seseorang menjadi Nabi/Rasul.
Benar apa yang dikatakan @shohib bahwa Ibrahim AS.
menerima anugerah IMAMAH dari Allah SWT, setelah kenabian/kerasulan disandangnya. (QS 2:124).
Dan Allah SWT mengabulkan do’a Ibrahim AS pada ayat tersebut bahwa Imamah tersebut terus akan berlanjut melalui dzurriyatnya hingga akhir zaman.
Sudah merupakan kesepakatan seluruh mazhab Islam (kecuali Khawarij, Nashibi dan Wahabi) bahwa pada akhir zaman nanti ada Imam Mahdi, dan menurut hadist yang mutawatir bahwa beliau adalah dzurriyyah Rasul SAW melalui Sayyidah Fathimah Az Zahra’ AS.
Jadi pertanyaannya sekarang terbalik: TOLONG TUNJUKKAN ADAKAH AYAT AL QUR’AN YANG MENOLAK KONSEP IMAMAH!!!!!!!!!!
WAHAI ORANG SYI’AH SILAHKAN DIJAWAB TANTANGAN INI JIKA KALIAN MERASA BENAR!!!
secara garis besar sudah terjawab oleh al qur’an, konsep Imamah memang ada dan jelas terdapat dalam Al Qur’an
baca 5 ayat dulu yah……., namun sebelumnya jangan lupa memohon bimbingan-Nya.
Istilah aa’immah = Pemimpin-Pemimpin/Imam-Imam
1) QS Al Anbiya 21:73
2) QS As Sajda 32:24
3) QS Al Qasas 28:5
4) QS Al Qasas 28:41
5) QS At Taubah 9:12
Coba kita fokus kepada ayat-ayat tsb. dulu
1. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah (Al Anbiya : 73)
Ayat di atas berbicara tentang Ibrahim, Ishak dan Ya’kub AS, Dimana penjelasan tentang Imam 12 Syi’ah yg ma’shum?
2. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah ( As- Sajda:24)
Ayat di atas berbicara tentang Bani Israil, dimana penjelasan tentang 12 Imam Ma’shum Syi’ah?
3. Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi) (Al-Qasas : 5)
Ayat di atas sekali lagi tentang Bani Israel, dimana penjelasan tentang 12 Imam Ma’shum Syi’ah?
4. Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. (Al-Qasas : 41)
Ayat di atas tentang Fir’aun dan balatentaranya, dimana penjelasan tentang 12 Imam Ma’shum Syi’ah?
5. Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. (At-Taubah : 12)
Ayat di atas berbicara tentang kaum musyrikin, dimana penjelasan tentang 12 Imam Ma’shum Syi’ah?
Yang diminta oleh tantangan tersebut adalah ada ga ayat Al-Qur’an yang mendukung konsep imamah ala Syi’ah? yaitu yang mendukung faham 12 imam syi’ah? kalau konsep imamah secara umum memang ada tetapi tidak seperti konsep imamah 12 imam-nya Syi’ah yang menurut ajaran Syi’ah jika ada org yang tidak mengakui 12 Imam tsb maka telah kafir. Ini lho doktrin imamah ala syi’ah
Pertanyaannya ada ga ayat Qur’an yg dengan jelas mendukung doktrin di atas??
@sandi
menurut aql saya, jelas adanya konsep Imamah dalam Al Qur’an.
Bagaimana menurut aql anda??? Ini harus di jawab dulu.
Selanjutnya baru kita ketahap berikut, bertanya kepada Al Qur’an mengenai kriteria dan syarat2 dari suatu kepemimpinan/Imamah yang berdasarkan petunjuk dan wahyu, sebagaimana tercermin dalam QS 21:73 dan 32:24.
Anda dan saya (atau siapapun yang saling berbeda paham) sama posisinya… ingin mencari kebenaran, bukan saling mengklaim yang paling benar.
Silahkan dibaca lagi judul di atas : “APAKAH AJARAN IMAMAH ALA SYI’AH TERDAPAT DALAM AL-QUR’AN?”
Imamah memang ada dalam Al-Qur’an tetapi yg dibahas di sini adalah ajaran Imamah ala Syi’ah!.
apakah ajaran Imamah ala syi’ah tsb:
Selain dari para nabi, ada sekelompok orang yang ditunjuk oleh Allah yang disebut imam. Mereka ini adalah orang yang memiliki Ismah (kemaksuman) dan memiliki akses ke suatu pengetahuan yang tidak dapat diakses oleh orang biasa. Dunia tidak boleh kosong dari seorang Imam, jika tidak maka akan dihancurkan. Dalam konteks Syi’ah, orang-orang ini adalah dua belas orang di antara keturunan Nabi (صلى الله عليه وآله وسلم) yang tidak ditunjuk oleh seorang pun kecuali oleh Allah (عز و جل) sendiri untuk memimpin umat Islam. Siapapun yang memilih pemimpin selain dua belas imam ini adalah sesat dan tidak beriman sempurna.
Coba tunjukkan dalam Al-Qur’an ada ga yg menyebutkan bahwa Imam-Imam tsb adalah 12 Imam nya Syi’ah? bukankah 2 ayat yg anda sebutkan itu adalah tentang Nabi Ibrahim, Ishak dan Ya’kub dan tentang para Nabi dan pemimpin di kalangan bani Israil. dan tidak ada menyinggung sedikit pun 12 Imam Syi’ah keturunan Husein, coba tunjukkan jika ada. Atau anda mulai lagi men-generalisir?
Sedangkan diketahui perkara imamah menurut syi’ah adalah perkara ushuluddin, seharusnya mengenai permasalahan ushuluddin mesti jelas tidak ada boleh ada bias padanya.
Contoh perkara Ushuluddin : Tuhan kita Allah, Nabi kita Muhammad SAW, Kitab kita Al-Qur’an, konsep Laa ilaha illallah dll dan semua itu jelas ada dalam Al-Qur’an, lha mengenai Imamah ala Syi’ah? paling tidak adakah nama Ali bin Abi Thalib tercantum dalam Al-Qur’an? lalu bagaimana Syi’ah bisa menentukan bahwa Imam yg harus diikuti dg konsekuensi kafir jk tdk mengikuti adalah Ali, Hasan, Husein dan keturunannya? bukankah Hasan juga punya keturunan kenapa ga diikuti oleh syi’ah? terlalu banyak pertanyaan mengenai konsep imamah syi’ah yg memang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
@sandi menulis:
—————————————————————————
Silahkan dibaca lagi judul di atas : “APAKAH AJARAN IMAMAH ALA SYI’AH TERDAPAT DALAM AL-QUR’AN?”
Imamah memang ada dalam Al-Qur’an tetapi yg dibahas di sini adalah ajaran Imamah ala Syi’ah!.
————————————————————————–
Alhamdulillah……, kalau anda sudah sepakat bahwa “Imamah memang ada dalam Al Qur’an”.
Ini membuktikan bahwa tulisan anda dengan sub Judul “Imamah Tidak Terdapat Dalam Al-Qur’an” sudah terjawab oleh Al Qur’an sendiri.
Perihal Imamah ala Syi’ah, semua mazab pemikiran mempunyai posisi dan hak masing2 yang sama. Kita tidak bisa mengklaim yang paling benar sebelum dibenarkan oleh Al Qur’an.
Lucu kalo anda tanya nama ‘Ali bin Abi Thalib tidak ada dalam Al Qur’an.
Kenapa tidak anda tanya juga, apakah nama Abu Bakar terdapat dalam Al Qur’an?
Al Qur’an dalam persoalan prinsip, hanya menjelaskan secara garis besar dan global, kriteria dan syarat2nya, sedangkan praktisnya itu dijelaskan oleh Hadist2 Nabi SAW yang tidak bertentangan dengan prinsip2 yang dijelaskan Al Qur’an.
——————————————————————-
@sandi menulis:
bukankah 2 ayat yg anda sebutkan itu adalah tentang Nabi Ibrahim, Ishak dan Ya’kub dan tentang para Nabi dan pemimpin di kalangan bani Israil.
——————————————————————-
Ini menjelaskan bahwa Imamah-pun juga disandang oleh mereka sekaligus (baca QS 2:124), melalui dzurriyah mereka hingga Muhammad SAW.
Pada ayat2 itu jelas yang mempunyai hak menunjuk Nabi/Rasul dan Imam hanya Allah SWT dan selanjutnya bisa saja nabi/rasul menunjuk pemimpin selanjutnya.
Sebagaimana terdapat dlm Al Qur’an bahwa Nabi Daud menunjuk seseorang yang dipercaya oleh Beliau AS.
Kita dapat ambil pelajaran dari ayat2 Al Qur’an ini, bahwa disini Allah SWT. menetapkan prinsip: CARA menetapkan pemimpin adalah dengan PENUNJUKAN LANGSUNG oleh Allah atau Rasul-Nya. Ini salah satu prinsip Imamah dalam Islam.
Konsep kepemimpinan sepanjang sejarah dipahami berbeda-beda oleh ummat Islam, ada Imamah ala Khawarij, Imamah ala Bani Umayyah/Abbasiyyah (realitas sejarah), sekarang ada Imamah ala Hizbuttahrir, dan tidak menutup kemungkinan Imamah ala Sunni sebagaimana thread ini.
Jadi kita kaum muslimin harus bertanya kepada Al Qur’an apa dan bagaimana prinsip-prinsip Kepemimpinan Islam yang telah ditetapkan Allah SWT.
@ Saiful
Ternyata anda belum juga mengerti artikel di atas dan tantangannya sy copas lagi:
Artinya anda harus menunjukkan di manakah dalam Al-Qur’an yang menyebut Ali adalah Imam yg hrs diikuti, Ja’far shodiq Imam yg hrs diikuti, Hasan Al-Askari adalah imam yg diikuti dll sampai 12 imam dan ayat Al-Qur’an yg mana yg menyebutkan apabila mengingkari salah satu Imam tsb adalah kafir.
Bicara soal dzuriyat, bukankah keturunan Ali bukan hanya Husein? kan ada Hasan juga, dan beliau juga punya keturunan, mengapa hanya keturunan Husein yg dijadikan Imam? apakah ini ada dalam Al-Qur’an???? terus bagaimana dengan sekte Syi’ah Ismailiyah yang setelah Ja’far Ash Shodiq imam-nya berbeda dg Itsna Atsariyyah, kenapa ga ikut Ismailiyyah saja apakah 12 imam tsb memang sdh ditetapka dalam Al-Qur’an?? jika ada tolong diberikan 1 ayat saja mengenai hal ini. silahkan Jawab! jika anda tidak bisa, maka ketahuilah bahwa Doktrin Imamah Ala Syi’ah tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Mengenai ayat 2:124:
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”[88]. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim” (QS 2:124)
Pertama, Imam yang dimaksud di atas adalah Ibrahim kemudian keturunan beliau yang diangkat menjadi Nabi dan rasul, manakah dalam ayat ini yg berbicara mengenai 12 Imam Syi’ah???
Hal ini ditafsirkan oleh ayat yang lain yaitu dalam surat 29:27
Dan Kami anugrahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Ya’qub, dan Kami jadikan kenabian dan Al Kitab pada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasannya di dunia; dan sesungguhnya dia di akhirat, benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. (QS 29:27)
Kedua, jika anda menafsirkan bahwa yg dimaksud Imam adalah pemimpin umat manusia atau khalifah, maka fakta telah berbicara bahwa di kalangan ahlul bait yang menjadi khalifah hanya dua orang saja yaitu Ali bin Abi Thalib dan Al Hasan sedangkan yang lain tidak ada yang pernah menjadi Imam atau Khalifah bagi manusia di muka bumi selain kedua orang tsb. Jika anda hanya mendasarkan dari keturunan Ibrahim, maka Abu Bakar, Umar dan Utsman pun adalah keturunan Ibrahim, dan mereka (termasuk Ali) dikenal sebagai Khalifah Ar-Rasyidin Al-Mahdiyin (Khalifah yang membawa petunjuk).
akhi @sandi
percuma kita berdialog, kalau anda sudah menyimpulkan. saya akan melanjutkan berdialog kalau kita sama2 sepakati dulu pembahasan tahap demi tahap.
anda sepakat dengan statement saya ini….? (saya kutip lagi)
Kita dapat ambil pelajaran dari ayat2 Al Qur’an ini, bahwa disini Allah SWT. menetapkan prinsip: CARA menetapkan pemimpin adalah dengan PENUNJUKAN LANGSUNG oleh Allah atau Rasul-Nya. Ini salah satu prinsip Imamah dalam Islam.
Implementasinya adalah, Rasul SAW tidak pernah bermusyawarah dengan para sahabat, dalam hal menunjuk siapa orang yang dipercayainya untuk suatu tugas atau expedisi perang, atau pemimpin setelahnya. Mungkinkah Rasul SAW tidak melaksanakan perintah Allah untuk menetapkan siapa penggantinya???
Ada kriteria Imamah dari QS 2:124, yaitu menurut Allah SWT Imamah tidak diperkenankan bagi keturunannya yang Zalim.
Maka sekarang kita dapatkan prinsip Imamah sesuai dengan ketetapan Allah pada ayat tsb. adalah:
1. Caranya — yakni penunjukannya oleh Allah atau RasulNya, jadi tidak dimusyawarahkan dengan umatnya.
2. Imamah dianugerahkan hanya kepada zdurriyyah/pertalian darah, dengan syarat tidak zalim —- maka dari sinilah timbul syarat “kemaksuman”.
Ketetapan ini berlaku hingga hari kiamat, terbukti terdapat hadist sahih bahwa Imam terakhir/Imam Zaman/Imam Mahdi pada akhir zaman adalah berasal dari dzurriyyah Rasulullah SAW melalui putri tercintanya Fathimah Az Zahra, AS.
Jadi saya melihat didalam Al Qur’an di sepanjang sejarah ummat manusia, bahwa Kepemimpinan Ilahiah selalu dan sudah ada hingga hari kiamat, walaupun secara realitas mereka tidak secara formal memimpin.
Sekarang kepemimpinan dunia seolah2 dikuasai oleh AS/Israel, namun saya yakin dengan ketetapan Al Qur’an dan Hadist Nabi SAW tsb. bahwa kendali kepemimpinan Ilahi pada zaman ini diemban oleh Imam Mahdi.
Sekali lg anda menafsirkan ayat dengan cara “Gathuk Mathuk”
Mana ayat yang menunjukkan bahwa 12 Imam Syi’ah ditunjuk oleh Allah?
Bagaimana anda bisa menentukan bahwa 12 Imam Syi’ah itulah Imam yg dimaksud?? apakah berarti keturunan Hasan adalah Zalim semua sehingga tidak dipilih sebagai Imam? jika ia darimana anda mengetahuinya? apakah anda tidak pernah berfikir sebaliknya bahwa akidah 12 imam adalah doktrin atau klaim dari ulama2 syi’ah belaka? mengapa anda begitu terbius dengan akidah yang ga jelas dan sama sekali tidak bisa dibuktikan secara ilmiah baik dalam Al-Qur’an maupun hadits?
@sandi
baca disebelah tuh……….
ngomel2 aja kerjaannya…………, dan tolong tulis aja pahaman anda terhadap QS 2:124, supaya saya tidak sesat.
Tulis yang rinci ya………
berbicara dengan orang yang beragama syiah sama saja berhadapan dengan orang gila. hanya ada dua pilihan bagi kita, tetap bersabar atau tinggalkan saja
@sandi
lucu sekali dikarnakan nama2 imam 12 tidak ada dialquran lalu anda menolak tentang konsep imam dlm alquran?
memang antara sunni dan syiah, ibarat satu menuju ke barat dan satu ketimur. Bagaimana mau ketemu.
utk itu saudaraku sunni yg sudah berusaha, menjelaskan diatas..skrg tinggal bersabar. 🙂
Hidayah bukan milik kita, bukan milik sesiapa, bahkan bukan milik Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Sebaliknya hidayah itu hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala.
إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya engkau (Wahai Muhammad) tidak dapat memberikan hidayah kepada siapa yang engkau suka, tetapi Allahlah yang memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Surah Al-Qasas, 28 : 56)
Terima atau tidak terima itu adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tugas kita sekadar menyampaikan. Allah mengatakan kepada Rasulullah,
إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا ٱلْبَلَـٰغُ
“Kewajipan engkau tidak lain hanyalah menyampaikan.” (Surah Syura, 42: 48)
seperti firman Allah,
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Berpesan-pesan dengan kebenaran dan berpesan-pesan dengan kesabaran.” (Surah Al-Asr, 103: 3)
Berpesan-pesan dengan kebenaran berkait rapat dengan kesabaran. Kita harus sabar. Anggaplah kita ini dokter, Obat kita adalah ilmu. Kita hanya bertanggungjawab untuk menyampaikan. Itu sahaja. Lebih daripada itu kita serahkan kepada Allah.
Yg menulis artikel ini lucu ya ? Kok spt menyamakan Al-Quran dg buku semacam juklak atau juknis yg berisi rincian-rincian. Kan semua yg ada di Al-Quran bersifat global/umum. Ada juga yg tersirat atau merpkn isyarat Coba saja buktikan mana ada perintah Al-Quran spt salat, puasa, zakat dan haji yg dinyatakan secara terinci ? Kalau isi Al-Quran dibuat Allah secara terinci buat apa dong adanya seorang rasul atau nabi Allah yg merpkn kitab suci berjalan yg memberikan contoh/teladan secara detail ? Kalau penulis artikel ini menantang kpd Syiah untk menunjukkan satu saja ayat yg berkenaan dg Imamah versi Syiah tanpa didukung hadis dan penafsiran sebenarnya sedang menunjukkan kebodohannya. Bagaimana penulis smp berani mengatakan “tanpa hadis”, seolah Al-Quran dan Hadis Nabi adalah 2 hal yg terpisah, padahal ucapan Nabi Muhammad saw adalah wahyu itu sendiri yg beliau jelaskan dan jabarkan dlm kenyataan ? Menurut saya kenapa Al-Quran tdk memuat nama Ali krn Ali walaupun dianggap maksum oleh Syiah, beliau bukanlah nabi atau org yg menerima wahyu, krn kenabian sdh tutup melainkan beliau adlh seorang imam yg melanjutkan risalah Nabi Muhammad saw. Dg kata lain Imamah berlanjut terus smp Kiamat walaupun nubuwwah telah tutup. Dasarnya adalah QS 2 : 124. Sebenarnya dg ayat ini sdh cukup untk memberi landasan bagi konsep Imamah Ilahiyah. Dan konsep tsb tdk perlu dikatkan dg Sunni atau Syiah krn secara akal sehat apakah mgkn syariat yg dg susah payah diperjuangkan oleh Nabi yg maksum selama 23 thn kmdn diserhkan bgt saja kpd org tdk maksum yg dlm QS2:124 disebut ahdiz dzalimin atau dibiarkan saja sesuai hawa nafsu manusia ? Bukankah alam semesta ini belum dihancurkan krn masih adanya manusia suci / imam zaman?
Sebenarnya bukan hanya QS 2 : 124 sbg landasan konsep Imamah versi Syiah itu juga QS 33 : 33 yg menjelaskan perihal figurnya yaitu manusia2 maksum.
Org yg tidak menerima QS 2:124 sbg landasan bagi Imamah Ilahiyah setelah Nabi wafat sama dg menolak atau mengingkarinya. Apa yg kurang jelas dari ayat tsb ttg Imamah pd dzuriyah Nabi Ibrahim melalui Bani Hasyim ? Apa Nabi Ibrahim dlm ayat itu hanya meminta Imamah bagi dzuriyatnya hanya smp Nabi Muhammad saja ? Trus kalau masih menolak juga hadis2 yg mendukungnya itu sama saja dg mengingkari sunnah Rasul sendiri !